Minggu, 12 Juli 2015

ANALISIS FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS JATI RAYA TAHUN 2015



BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Data World Health Organization (WHO, 2014), diare membunuh dua juta anak di dunia setiap tahunnya. Diare hingga kini masih merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian pada bayi dan anak-anak secara global di seluruh dunia. Dari semua kematian yang terjadi pada anak usia di bawah lima tahun  14,0% diakibatkan oleh diare.
Berdasarkan profil kesehatan Indonesia tahun 2008, dilaporkan kejadian luar biasa (KLB) diare terjadi di 15 provinsi dengan case fatality rate (CFR) 2,48%. Tahun 2009, dilaporkan KLB diare terjadi di 15 provinsi dengan CFR 1,74%. Sedangkan tahun 2010 dan tahun 2011 dilaporkan KLB diare terjadi di 11 provinsi dengan masing-masing CFR 1,74%. Untuk tahun 2012 dilaporkan KLB diare terjadi di 14 provinsi dengan CFR 1,75%. Sedangkan untuk tahun 2013 dilaporkan KLB diare terjadi di 12 provinsi dengan CFR sebesar 1,91% (Kemenkes RI, 2013).
Di Sulawesi Tenggara tahun 2011, angka kejadian penyakit diare pada Balita sebanyak 13.002 kasus, dan tahun 2012 sebanyak 14.669 kasus. Untuk tahun 2013 kejadian diare pada Balita sebanyak 14.754 kasus (Dinkes Sultra, 2013).
Dinas Kesehatan Kota Kendari tahun 2011 menunjukkan prevalensi data kejadian diare di Kota Kendari sebesar 2,34% (6.248 kasus) dan 3.134 kasus (50,16%) terjadi pada Balita dengan korban meninggal 2 orang (CFR: 0.04 %). Pada tahun 2012 meningkat menjadi 23,47 % (6.188 kasus) dan sebanyak 3,390 kasus (54,78 %) terjadi pada Balita dengan korban meninggal 3 orang (CFR: 0.05%). Dan pada tahun 2013 sebanyak 3,05 % (5.366 kasus) sebanyak 4.122 kasus (76,81 %) terjadi pada Balita dengan korban meninggal 3 orang (CFR: 0,04 %) (Dinkes Kota Kendari, 2013).
Berdasarkan laporan dari Puskesmas Jati Raya Kota Kendari menunjukkan bahwa angka kejadian diare pada Balita tahun 2011 sebanyak 464 kasus. Angka kejadian diare pada Balita untuk tahun 2012 sebanyak 489 kasus. Pada tahun 2013, jumlah Balita yang terkena diare meningkat sebanyak 593 kasus. Sedangkan pada tahun 2014  jumlah kunjungan ibu yang memiliki Balita sebanyak 473 orang dengan Balita yang menderita diare sebanyak 121 kasus. Penyakit Diare selalu masuk dalam  10 besar penyakit di wilayah kerja Puskesmas Jati raya  dalam 5 tahun terakhir (Puskesmas Jati Raya, 2014).
Berdasarkan hasil observasi awal yang dilakukan dengan pengukuran quesioner kepada 10 responden pada tanggal 5 Maret 2015 masih banyak ibu-ibu yang memiliki personal hygiene yang kurang. Dari 10 orang responden hanya 2 (20%) orang yang memiliki personal hygiene yang baik dan 8 (80%) orang responden personal hygiene kurang. Sedangkan untuk sanitasi lingkungan  yang kurang terutama terkait dalam hal penanganan sampah, pembuangan tinja dan limbah keluarga. Berdasarkan data kesehatan lingkungan Puskesmas Jati raya masih terkategori kurang memadai  dengan persentase 48%.
.
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya diare antara lain adalah pengetahuan, personal hygiene, sanitasi lingkungan, gizi, pendidikan, sosial ekonomi dan perilaku masyarakat. Faktor lingkungan merupakan salah satu penyebab diare yaitu kebersihan lingkungan dan perorangan seperti kebersihan air yang digunakan untuk susu dan makanan. Faktor gizi seperti tidak diberikannya makanan tambahan meskipun anak telah berusia 4-6 bulan (Soegijanto, 2009).
Hasil penelitian Ratnawati (2009) menyebutkan bahwa yang menjadi resiko terjadinya diare adalah faktor perilaku ibu, penggunaan sarana air bersih dan penggunaan jamban dan menurut hasil penelitian Adisasmito (2007) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya diare pada Balita adalah faktor ibu (umur, pengetahuan, pendidikan, status kerja, sikap, perilaku, praktek hygiene), faktor Balita (usia, jenis kelamin, ASI eksklusif imunisasi, status gizi), faktor sosial ekonomi dan faktor lingkungan.
Faktor perilaku yang dapat menyebabkan penyebaran kuman infeksi dan meningkatkan risiko diare antara lain adalah tidak memberikan ASI secara penuh pada bayinya sampai dengan umur 6 bulan, menggunakan susu botol yang tidak bersih, tidak mencuci tangan sesudah buang air besar, tidak membuang tinja dengan benar, dan masih banyak rumah yang belum mempunyai jamban (Dwianto, 2010). 
Perilaku merupakan faktor yang sangat penting di dalam turut mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat setelah faktor lingkungan. Pada kasus penyakit diare, biasanya faktor perilaku selalu dihubungkan dengan aspek pengetahuan, personal hygiene dan sanitasi lingkungan. Penyakit diare merupakan penyakit saluran pencernaan yang penyebarannya lebih sering akibat konsumsi makanan maupun minuman, sehingga masyarakat dengan pengetahuan yang kurang serta kondisi personal hygiene dan sanitasi lingkungan yang buruk akan berpotensi dalam menimbulkan penyebaran diare
Personal hygiene yang kurang menjadi faktor risiko terjadinya diare. Mencuci tangan penting untuk menjaga kebersihan tangan, cuci tangan dengan sabun akan menghilangkan kuman. Personal hygiene adalah salah satu kemampuan dasar manusia dalam memenuhi kebutuhannya guna mempertahankan kehidupannya, kesehatan dan kesejahteraan sesuai dengan kondisi kesehatannya (Direja, 2011).
Sanitasi lingkungan yang mendukung berupa ketersediaan sumber air, ketersediaan jamban, ketersediaan tempat pembuangan sampah dan saluran air limbah dapat menurunkan sumber penularan penyakit yang dapat memicu diare. Rendahnya mutu sanitasi lingkungan merupakan keadaan yang potensial untuk menjadi sumber penularan penyakit diare.
Berdasarkan fenomena di atas peneliti telah melakukan penelitian dengan judul Faktor - faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Diare pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Jati Raya Tahun 2015.
B.  Rumusan Masalah
Permasalahan penelitian berdasarkan latar belakang tersebut di atas dapat dirumuskan bahwa:
1.     Apakah ada hubungan pengetahuan ibu dengan kejadian diare pada Balita di wilayah kerja Puskesmas Jati Raya Kota Kendari Tahun 2015?
2.     Apakah ada hubungan personal hygiene dengan kejadian diare pada Balita di wilayah kerja Puskesmas Jati Raya Kota Kendari Tahun 2015?
3.     Apakah ada hubungan sanitasi lingkungan dengan kejadian diare pada Balita di wilayah kerja Puskesmas Jati Raya Kota Kendari Tahun 2015?
C.  Tujuan Penelitian
      1.   Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan pengetahuan, personal hygiene dan sanitasi lingkungan dengan kejadian diare pada Balita di wilayah kerja Puskesmas Jati Raya Kota Kendari Tahun 2015.
2.   Tujuan Khusus
2.1     Untuk mengetahui hubungan pengetahuan dengan kejadian diare pada Balita di wilayah kerja Puskesmas Jati Raya Kota Kendari Tahun 2015.
2.2     Untuk mengetahui hubungan personal hygiene dengan kejadian diare pada Balita di wilayah kerja Puskesmas Jati Raya Kota Kendari Tahun 2015.
2.3     Untuk mengetahui hubungan sanitasi lingkungan dengan kejadian diare pada Balita di wilayah kerja Puskesmas Jati Raya Kota Kendari Tahun 2015.
D.  Manfaat Penelitian
1.     Bagi Puskesmas Jati Raya
Memberikan informasi bagi instansi terkait khususnya Puskesmas Jati Raya tentang faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kejadian diare pada Balita sehingga dapat dijadikan dasar dalam pengambilan kebijakan dan penanggulangan diare pada Balita di wilayah kerja Puskesmas Jati Raya. 
2.     Bagi Masyarakat
Memberikan informasi tentang faktor pengetahuan, personal hygiene dan sanitasi lingkungan yang mempengaruhi kejadian diare pada Balita sehingga masyarakat dapat melakukan upaya pencegahan kasus diare di wilayah kerja Puskesmas Jati Raya.  .
3.     Bagi Peneliti
Bagi peneliti merupakan pengalaman yang sangat berharga dalam memperluas wawasan keilmuan mengenai faktor yang berhubungan dengan kejadian diare pada Balita dan juga sebagai media pembelajaran dalam menemukan kebenaran dengan cara memecahkan masalah secara sistimatis dan logis


















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.  Tinjauan Tentang Penyakit Diare
1.   Definisi
Menurut World Health Organisation (WHO), diare adalah buang air besar encer atau cair lebih dari tiga kali sehari. Secara operasional didefinisikan bahwa diare adalah suatu keadaan dimana defekasi yang tidak normal dengan frekuensi lebih dari tiga kali sehari, konsistensi cair disertai atau tidak disertai darah atau lendir (Depkes RI, 2010). Menurut Brunner dan Suddarth (2008), diare merupakan kondisi dimana terjadi frekuensi defekasi yang abnormal (lebih dari tiga kali per hari), serta perubahan dalam fisik (lebih dari 200 gr per hari) dan konsistensi feses lebih cair.
Diare adalah keadaan frekuensi buang air besar lebih dari 4 kali pada bayi dan lebih dari 3 kali pada anak dan dewasa, konsistensi cair, ada lendir atau darah dalam faeces (Ngastiyah, 2009). Definisi diare adalah kehilangan cairan dan elektrolit secara buang air besar dengan bentuk tinja yang encer atau cair (Suriadi, 2009). Sedangkan menurut Mansjoer (2008), bahwa diare adalah defekasi lebih dari 3 kali sehari dengan atau tanpa darah atau lendir, dimana diare adalah suatu peningkatan frekuensi, keenceran dan volume tinja serta diduga selama 3 tahun pertama kehidupan, seorang anak akan mengalami 1 – 3 kali episode akut diare berat.


 
2.     Jenis - Jenis Diare
Adapun jenis-jenis diare adalah sebagai berikut:
2.1     Diare akut, yaitu diare yang berlangsung kurang dari 14 hari (umumnya kurang dari tujuh hari). Akibat dari diare akut adalah dehidrasi, sedangkan dehidrasi merupakan penyebab utama kematian bagi penderita diare.
2.2     Disentri, yaitu diare yang disertai darah dalam tinjanya. Akibat disentri adalah anoreksia, penurunan berat badan yang cepat, kemungkinan terjadi komplikasi pada mukosa.
2.3     Disentri persisten, yaitu diare yang berlanjut lebih dari 14 hari secara terus menerus. Akibat diare ini adalah penurunan berat badan dan gangguan metabolisme.
3.     Etiologi
Etiologi penyakit diare, pada 25 tahun yang lalu sebagian besar belum diketahui, akan tetapi kini telah lebih dari 80% penyebabnya telah diketahui. Pada saat ini telah dapat diidentifikasi tidak kurang dari 25 jenis mikroorganisme yang dapat menyebabkan diare pada bayi dan anak. Penyebab ini dapat digolongkan lagi ke dalam penyakit yang ditimbulkan akibat virus, bakteri dan parasit usus. Penyebab utama oleh virus yang terutama yaitu Rotavirus (40 – 60%), sedangkan virus lainnya adalah virus Norwalk, Anstrovirus, Calcivirus, Corobavirus, dan Minorotavirus. Sedangkan penyebab diare oleh parasit adalah Balantidium Coli, Capilaria, Philippinensis, Cryptosporadium, Entamoeba, Lamlia, Isospora billi, Fasiolopsis bucki sarcocystis suihominis, Strongiloides dan Trichuris Trichiura (Soegijanto, 2009).
Virus dapat menyebabkan 40-60% dari semua penyakit diare pada bayi, dan anak yang berobat ke rumah sakit, sedangkan untuk komunitas sebesar 15% patogenea, terjadi diare yang disebabkan virus (misalnya patovirus) (Soegijanto, 2009).
Penyebab diare berkisar dari 70% sampai 90% dapat diketahui dengan pasti, penyebab diare dapat dibagi menjadi 2 yaitu (Suharyono, 2009):
3.1     Penyebab tidak langsung
Penyakit tidak langsung atau faktor-faktor yang mempermudah atau mempercepat terjadinya diare seperti: keadaan gizi, hygiene dan sanitasi, kepadatan penduduk, serta keadaan sosial ekonomi.
3.2     Penyebab langsung
Termasuk dalam penyakit langsung antara lain infeksi bakteri virus dan parasit, malabsorbsi, alergi, keracunan bahan kimia maupun keracunan oleh racun yang diproduksi oleh jasad renik, ikan, buah dan sayur-sayuran. Ditinjau dari sudut patofisiologi, penyakit diare akut dibagi menjadi 2 golongan yaitu (Suharyono, 2009):
3.2.1      Diare sekresi. Disebabkan oleh infeksi dari golongan bakteri seperti shigella, salmonella, E. coli, bacillus careus, clostridium. Hiperperistaltic usus halus yang berasal dari bahan-bahan makanan kimia misalnya keracunan makanan, makanan pedas, terlalu asam, gangguan psikis, gangguan syaraf, hawa dingin, alergi. Definisi imun yaitu kekurangan imun terutama IgA yang mengakibatkan terjadinya berlipat gandanya bakteri dan jamur.
3.2.2      Diare osmotik yaitu malabsorbsi makanan, kekurangan kalori protein dan berat badan lahir rendah
4.  Gejala Klinis
Gejala klinis pada penderita diare adalah:
4.1     Buang air besar/BAB encer atau cair lebih dari tiga kali sehari
4.2     Dapat disertai muntah-muntah dan demam
4.3     Bila pasien telah banyak kehilangan cairan dan elektrolit maka akan timbul gejala dehidrasi sebagai berikut: berat badan turun, turgor kulit berkurang, mata dan ubun-ubun menjadi cekung, serta selaput lendir dan bibir, mulut serta kulit tampak kering (Depkes RI, 2008).
Timbulnya penyakit diare dapat terjadi perlahan-lahan dan tidak diketahui, atau terjadi demam mendadak, gejalanya sering dimulai dengan malas minum, nafsu makan berkurang, kemudian diikuti oleh muntah dan diare. Mula-mula tinja cair berwarna kuning dan encer kemudian berubah menjadi hijau berlendir, berair dan frekuensinya malah bertambah (Noer, 2009).
Gejala penyakit diare berbeda-beda mulai dari ringan sampai berat, namun tidak dapat untuk membedakannya kecuali pada insektisida dari mulut pasien. Pada umumnya adalah berak-berak encer, muntah-muntah, nyeri perut dan mules, muka dan mata cekung, pada bayi ubun-ubun besar kelihatan cekung, jari tangan atau kaki agak kejang, nadi cepat, tekanan darah menurun dan akhirnya shock (Depkes RI, 2013).
5.  Patogenesis
Patogenesis adalah mekanisme yang menyatakan perkembangan suatu penyakit. Patogenesis pada penyakit diare meliputi:
5.1     Patogenesis diare akut. Masuknya jasad renik yang masih hidup ke dalam usus halus setelah berhasil melewati rintangan asam lambung. Jasad renik tersebut berkembang biak ke dalam usus halus dan mengeluarkan toxin. Akibat toxin tersebut terjadi hipersekresi yang selanjutnya akan menimbulkan diare.
5.2     Patogenesis diare kronik. Salah satu faktor yang menyebabkan diare kronik adalah faktor malabsorbsi yakni akibat terdapatnya makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus meningkat. Peningkatan tekanan tersebut menyebabkan terjadinya pergeseran air elektrolit dalam rongga usus, sehingga timbul diare (Depkes RI, 2008).
6.   Patofisiologis
Patofisiologis adalah perubahan-perubahan biologi yang mempengaruhi keseimbangan dinamik tubuh atau homoestatis yang diubah oleh penyakit pada organisme hidup (Silvia, 2010). Patofisiologis sebagai akibat diare akut maupun kronis akan terjadi:
6.1     Kehilangan air dan elektrolit yang mengakibatkan gangguan keseimbangan cairan.
6.2     Gangguan gizi sebagai akibat kelaparan karena masukan makanan kurang dan pengeluaran bertambah.
6.3     Hipoglikemi yaitu penurunan kadar glukosa dalam darah.
6.4     Gangguan sirkulasi darah.
7.   Epidemiologi Diare
Penyebaran kuman penyakit diare biasanya melalui oral antara lain melalui makanan dan minuman yang tercemar tinja dan atau kontak langsung dengan tinja penderita. Beberapa yang dapat menyebabkan penyebaran kuman enteric dan peningkatan rasio terjadinya diare (Silvia, 2010).
Faktor penjamu yang dapat meningkatkan kerentangan terhadap diare yaitu kurang gizi, beratnya penyakit lama dari resiko kematian karena diare meningkat pada anak-anak yang menderita gangguan gizi terutama pada penderita gizi buruk. Penyakit diare merupakan salah satu penyakit berbasis lingkungan. Dua faktor yang dominan yaitu sarana air bersih dan pembuangan tinja. Kedua faktor ini akan berinteraksi dengan perilaku manusia yang tidak sehat pula yang melalui makanan dan minuman, maka dapat menimbulkan kejadian penyakit diare (Depkes RI, 2008).
8.   Komplikasi
Komplikasi adalah akibat yang dapat timbul bila penderita tidak ditangani dengan tepat. Komplikasi yang dapat timbul pada anak yang menderita diare yakni dehidrasi atau kehilangan cairan tubuh yang berlebihan, shok hipovolemik akibat berkurangnya plasma dalam darah, hipokalemia yaitu konsentrasi kalium yang rendah dalam darah disebabkan oleh sekresi renal oleh jalur intestinasl akibat muntah dan diare, kejang, terutama dalam dehidrasi berat, dan malnutrisi energi protein karena selain diare dan muntah penderita juga mengalami kelaparan (Nursalam, 2008).
9.  Penatalaksanaan
Penatalaksanaan diare menurut Nursalam (2008) antara lain:
9.1     Diare tanpa dehidrasi (Rencana terapi A)
9.1.1      Berikan cairan tambahan sebanyak anak mau. Saat berobat, orang tua perlu diberi oralit beberapa bungkus untuk diberikan di rumah. Juga perlu diberikan penjelasan mengenai  pemberian ASI yang lebih lama pada setiap kali pemberian, pemberian oralit atau air matang sebagai tambahan, pemberian cairan seperti: oralit, kuah sayur, air tajin, air matang, dan mengajarkan cara membuat oralit di rumah yakni 1 bungkus oralit dimasukkan dalam 200 ml (1 gelas) air matang, usia sampai 1 tahun berikan 50-100 ml oralit setiap habis berak dan berikan oralit sedikit demi sedikit dengan sendok. Apabila muntah tunggu 10 menit, lalu berikan lagi.
9.1.2      Lanjutkan pembagian makan sesuai usianya.
9.1.3      Apabila keadaan anak tidak membaik dalam 5 hari, anjurkan agar anak dibawa ke Rumah Sakit. Selama perjalanan, oralit tetap diberikan (Nursalam, 2008).



9.2     Diare dengan dehidrasi ringan/sedang (Rencana terapi B)
9.2.1      Berikan oralit dan observasi di klinik selama 3 jam dengan jumlah sekitar 75 ml/kg BB. Pemberian oralit pada bayi sebaiknya dengan menggunakan sendok. Adapun jumlah pemberian oralit berdasarkan BB dalam 3 jam pertama adalah: Untuk umur 4 bulan dengan berat badan kurang dari 6 kg sebanyak 200 – 400 ml; untuk umur 4-12 bulan dengan berat badan 6 – 10 kg sebanyak 400 – 700 ml; untuk umur 12 - 24 bulan dengan berat badan 10 - 12 kg sebanyak 700 – 900 ml; dan untuk umur 2 – 5 tahun dengan berat badan 12 - 19 kg sebanyak 900 – 400 ml.
9.2.2      Lakukan penilaian setelah anak diobservasi 3 jam. Apabila membaik, pemberian oralit dapat diteruskan. Apabila memburuk, segera pasang infus dan rujuk ke RS untuk mendapatkan penanganan segera (Nursalam, 2008).
9.3     Diare dengan dehidrasi berat (Rencana terapi C)
9.3.1      Jika anak menderita penyakit perut lainnya segera rujuk. Selama dalam perjalanan, mintalah ibu untuk terus memberikan oralit dan ASI.
9.3.2      Jika tidak ada penyakit berat lainnya, diperlukan tindakan sebagai berikut: memasang infus dan segera berikan RL atau NaCl secepatnya secara intravena sebanyak 100 ml/kgBB; jika tidak dapat memasang infus tetapi dapat memasang sonde, berikan oralit melalui NGT dengan jumlah 20 ml/kgBB/jam selama 6 jam; jika tidak dapat memasang infus dan sonde rujuk segera, berikan oralit terus menerus dalam perjalanan (Nursalam, 2008)
B.     Tinjauan Tentang Anak Balita
Anak Balita adalah anak yang telah menginjak usia di atas satu tahun atau lebih popular dengan pengertian usia anak di bawah lima tahun (Muaris.H, 2009).  Menurut Sutomo dkk, (2010), Balita adalah istilah umum bagi anak usia 1-3 tahun (Batita) dan anak prasekolah (3-5 tahun). Saat usia Batita, anak masih tergantung penuh kepada orang tua untuk melakukan kegiatan penting, seperti mandi, buang air dan makan.
Anak Balita merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan yang pesat sehingga memerlukan zat gizi yang  tinggi setiap kilogram berat badannya. Anak Balita ini justru merupakan kelompok umur yang paling sering menderita akibat kekurangan zat gizi karena masih dalam taraf perkembangan dan kualitas hidup anak sangat tergantung pada orang tuanya (Sediaoetama, 2008).
Perkembangan berbicara dan berjalan sudah bertambah baik. Namun kemampuan lain masih terbatas. Masa Balita merupakan periode penting dalam proses tumbuh kembang manusia. Perkembangan dan pertumbuhan di masa itu menjadi penentu keberhasilan pertumbuhan dan perkembangan anak di periode selanjutnya. Masa tumbuh kembang di usia ini merupakan masa yang berlangsung cepat dan tidak akan pernah terulang, karena itu sering disebut golden age atau masa keemasan.
Menurut karakteristik, Balita terbagi dalam dua kategori yaitu anak usia 1    3 tahun (Batita) dan anak usia prasekolah (Uripi, 2008). Anak usia 1-3 tahun merupakan konsumen pasif, artinya anak menerima makanan dari apa yang disediakan ibunya. Laju pertumbuhan masa Batita lebih besar dari masa usia pra-sekolah sehingga diperlukan jumlah makanan yang relatif besar. Namun perut yang masih lebih kecil menyebabkan jumlah makanan yang mampu diterimanya dalam sekali makan lebih kecil dari anak yang usianya lebih besar. Oleh karena itu, pola makan yang diberikan adalah porsi kecil dengan frekuensi sering.
Pada usia pra-sekolah anak menjadi konsumen aktif. Mereka sudah dapat memilih makanan yang disukainya. Pada usia ini anak mulai bergaul dengan lingkungannya atau bersekolah playgroup sehingga anak mengalami beberapa perubahan dalam perilaku. Pada masa ini anak akan mencapai fase gemar memprotes sehingga mereka akan mengatakan “tidak” terhadap setiap ajakan. Pada masa ini berat badan anak cenderung mengalami penurunan, akibat dari aktivitas yang mulai banyak dan pemilihan maupun penolakan terhadap makanan.  Diperkirakan pula bahwa anak perempuan relatif lebih banyak mengalami gangguan status gizi bila dibandingkan dengan anak laki-laki.




Secara umum tumbuh kembang setiap anak berbeda-beda, namun prosesnya senantiasa melalui tiga pola yang sama, yakni:
1.      Pertumbuhan dimulai dari tubuh bagian atas menuju bagian bawah (sefalokaudal).
Pertumbuhannya dimulai dari kepala hingga ke ujung  kaki, anak akan berusaha menegakkan tubuhnya, lalu dilanjutkan belajar menggunakan kakinya.
2.      Perkembangan dimulai dari batang tubuh ke arah luar.
Contohnya adalah anak akan lebih dulu menguasai penggunaan telapak tangan untuk menggenggam, sebelum ia mampu meraih benda dengan jemarinya.
3.      Setelah dua pola di atas dikuasai, barulah anak belajar mengeksplorasi keterampilan-keterampilan lain. Seperti melempar, menendang, berlari dan lain-lain.
Pertumbuhan pada bayi dan Balita merupakan gejala kuantitatif. Pada konteks ini, berlangsung perubahan ukuran dan jumlah sel, serta jaringan intraseluler pada tubuh anak. Dengan kata lain, berlangsung proses multiplikasi organ tubuh anak, disertai penambahan ukuran-ukuran tubuhnya. Hal ini ditandai oleh:
1.      Meningkatnya berat badan dan tinggi badan.
2.      Bertambahnya ukuran lingkar kepala.
3.      Muncul dan bertambahnya gigi dan geraham.
4.      Menguatnya tulang dan membesarnya otot-otot.
5.      Bertambahnya organ-organ tubuh lainnya, seperti rambut, kuku, dan sebagainya.
Penambahan ukuran-ukuran tubuh ini tentu tidak harus drastis. Sebaliknya, berlangsung perlahan, bertahap, dan terpola secara proporsional pada tiap bulannya. Ketika didapati penambahan ukuran tubuhnya, artinya proses pertumbuhannya berlangsung baik. Sebaliknya jika yang terlihat gejala penurunan ukuran, itu sinyal terjadinya gangguan atau hambatan proses pertumbuhan.
Cara mudah mengetahui baik tidaknya pertumbuhan bayi dan Balita adalah dengan mengamati grafik pertambahan berat dan tinggi badan yang terdapat pada Kartu Menuju Sehat (KMS). Dengan bertambahnya usia anak, harusnya bertambah pula berat dan tinggi badannya. Cara lainnya yaitu dengan pemantauan status gizi. Pemantauan status gizi pada bayi dan Balita telah dibuatkan standarisasinya oleh Harvard University (USA). Penggunaan standar tersebut di Indonesia telah dimodifikasi agar sesuai untuk kasus anak Indonesia. Perkembangan pada masa Balita merupakan gejala kualitatif, artinya pada diri Balita berlangsung proses peningkatan dan pematangan (maturasi) kemampuan personal dan kemampuan sosial. 
1.      Kemampuan personal ditandai pendayagunaan segenap fungsi alat-alat pengindraan dan sistem organ tubuh lain yang dimilikinya. Kemampuan fungsi pengindraan meliputi:  Penglihatan, misalnya melihat, melirik, menonton, membaca dan lain-lain.  Pendengaran, misalnya reaksi mendengarkan bunyi, menyimak pembicaraan dan lain-lain. Penciuman, misalnya mencium dan membau sesuatu. Peraba, misalnya reaksi saat menyentuh atau disentuh, meraba benda, dan lain-lain. Pengecap, misalnya menghisap ASI, mengetahui rasa makanan dan minuman.
2.  Kemampuan sosial.
Kemampuan sosial (sosialisasi), sebenarnya efek dari kemampuan personal yang makin meningkat. Dari situ lalu dihadapkan dengan beragam aspek lingkungan sekitar, yang membuatnya secara sadar berinteraksi dengan lingkungan itu. Sebagai contoh pada anak yang telah berusia satu tahun dan mampu berjalan, dia akan senang jika diajak bermain dengan anak-anak lainnya, meskipun ia belum pandai dalam berbicara, ia akan merasa senang berkumpul dengan anak-anak tersebut. Dari sinilah dunia sosialisasi pada lingkungan yang lebih luas sedang dipupuk, dengan berusaha mengenal teman-temanya itu.
Beberapa kondisi dan anggapan orang tua dan masyarakat justru merugikan penyediaan makanan bagi kelompok Balita salah satunya yaitu anak Balita masih belum dapat mengurus sendiri dengan baik, dan belum dapat berusaha mendapatkan sendiri apa yang diperlukannya untuk makanannya dan walaupun tidak mencukupi, sering tidak diberi kesempatan untuk minta lagi atau mengambil sendiri tambahannya.
C.   Tinjauan Tentang Pengetahuan
1.     Pengertian Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2012), bahwa pengetahuan adalah merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Sedangkan menurut Mubarak dkk. (2008), bahwa penginderaan terjadi melalui panca indera, penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan merupakan hal yang sangat utuh terbentuknya tindakan seseorang (over beharvior). Karena dalam penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan.
2.     Tingkatan Pengetahuan
Selanjutnya menurut Notoatmodjo (2012), bahwa pengetahuan yang mencakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan yaitu:
2.1     Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya, mengingat kembali termasuk (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bagian atau rangsangan yang telah diterima.
2.2     Memahami (Comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara luas.
2.3     Aplikasi (Aplication)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi nyata.
2.4     Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitan satu sama lain.
2.5     Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjukkan pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
2.6     Evaluasi (evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifisikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada (Notoatmodjo, 2012).
Oleh karena itu pengetahuan/kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior). Karena dari pengalaman dan penelitian ternyata tindakan atau perilaku didasari oleh pengetahuan jauh lebih langgeng dibandingkan yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2012).
3.     Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2012), ada beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang yaitu:
3.1     Pendidikan
Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian, kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlansung seumur hidup. Makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah seseorang tersebut menerima informasi. Dengan pendidikan tinggi maka seseorang tersebut menerima informasi baik dari orang lain maupun dari media massa, semakin banyak informasi yang masuk semakin banyak pula pengetahuan seseorang tentang kesehatan.
3.2     Pengalaman
Menurut Jones dan Back menjelaskan bahwa pengalaman belajar bekerja yang berkembang memberikan pengetahuan dan ketrampilan professional serta pengalaman belajar selama bekerja akan dapat mengembangkan kemampuan mengambil keputusan yang merupakan manifestasi dan keterpaduan menalar secara ilmiah dan etik yang bertolak dari masalah nyata dalam bidang keperawatan.
3.3     Umur
Dua sikap tradisional mengenai jalanya perkembangan selama hidup semakin tua semakin bijaksana, semakin banyak informasi yang dijumpai dan semakin banyak hal yang dikerjakan sehingga menambah pengetahuannya.
4.  Cara Memperoleh Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2012), ada beberapa cara untuk memperoleh pengetahuan, yaitu:
4.1  Cara Coba-Salah (Trial and Error)
Cara coba-coba ini dilakukan dengan menggunakan kemungkinan dalam memecahkan masalah, dan apabila kemungkinan tersebut tidak berhasil, dicoba kemungkinan yang lain. Apabila kemungkinan kedua ini gagal pula, maka dicoba dengan kemungkinan ketiga, dan apabila kemungkinan ketiga gagal dicoba kemungkinan keempat dan seterusnya, sampai masalah tersebut dapat dipecahkan. Itulah sebabnya maka cara ini disebut metode trial (coba) dan error (gagal atau salah) atau metode coba-salah/coba-coba.
4.2  Cara Kekuasaan atau Otoritas
Dalam kehidupan manusia sehari-hari, banyak sekali kebiasaan-kebiasaan dan tradisi-tradisi yang dilakukan oleh orang, tanpa melalui penalaran apakah yang dilakukan tersebut baik atau tidak. Kebiasaan-kebiasaan ini biasanya diwariskan turun temurun dari generasi kegenerasi berikutnya. Dengan kata lain, pengetahuan tersebut diperoleh berdasarkan pada otoritas atau kekuasaan, baik tradisi, otoritas pemerintah, otoritas pemimpin agama, maupun ahli-ahli ilmu pengetahuan.
Prinsip ini adalah, orang lain menerima pendapat yang dikemukakan oleh orang yang mempunyai otoritas, tanpa terlebih dahulu menguji atau membuktikan kebenarannya, baik berdasarkan fakta empiris, ataupun berdasarkan penalaran sendiri. Hal ini disebabkan karena orang yang menerima pendapat tersebut menganggap bahwa yang dikemukakannya adalah benar.
4.3  Berdasarkan Pengalaman Pribadi
Pengalaman adalah guru yang baik, dimana pepatah ini mengandung maksud bahwa pengalaman itu merupakan sumber pengetahuan, atau pengalaman itu merupakan suatu cara untuk memperoleh pengetahuan.

4.4  Melalui Jalan Pikiran
Sejalan dengan perkembangan umat manusia, cara berpikir manusia pun ikut berkembang. Dari sini manusia telah mampu menggunakan penalarannya dalam memperoleh pengetahuannya. Dengan kata lain, dalam memperoleh kebenaran pengetahuan manusia telah menggunakan jalan pikirannya, baik melalui induksi maupun deduksi.
4.5  Cara Modern dalam Memperoleh Pengetahuan
Cara baru dalam memperoleh pengetahuan pada dewasa ini lebih sistematis, logis, dan ilmiah. Cara ini disebut metodologi penelitian ilmiah.
5.  Hubungan Pengetahuan Dengan Diare
Pengetahuan adalah sesuatu yang diketahui berkenaan dengan hal (mata pelajaran). Pengetahuan merupakan pengakuan hubungan suatu terhadap sesuatu yang lain. Pengakuan itu dalam bentuk kepuasan yang disebut pengetahuan. Tingkat pengetahuan lebih bersifat pengenalan terhadap sesuatu benda atau hal secara obyektif. Tingkatan pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2012). Pengetahuan mengenai diare meningkat namun di bidang terapi kemajuannya lamban. Kurang banyak yang dilakukan untuk mempengaruhi perjalanan diare bila sudah terjadi. Tahap pengetahuan tentang pencegahan merupakan andalan utama memerangi diare (Lumbantobing, 2010). Pemahaman akan faktor risiko diare, dan pengendalian akan faktor risiko diare mutlak diperlukan untuk pencegahan diare.
Pengetahuan ibu dalam kategori baik dapat dijelaskan karena baiknya pengetahuan ibu tentang diare karena ibu cukup mendapatkan informasi tentang penyakit diare dan hal-hal yang berhubungan dengan pencegahan diare. Oleh karena itu, sangat penting diadakan sosialisasi mengenai pencegahan penyakit diare berupa penyuluhan sehingga ibu dapat mengetahui tentang penanganan dan pencegahan penyakit diare. Informasi pula dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti televisi dan sumber informasi lainnya. Sedangkan rendahnya pengetahuan ibu dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu derajat penyuluhan, dan tingkat pendidikan. Namun hal ini tidak mutlak karena pengetahuan tersebut dapat diperoleh seseorang dari berbagai macam sumber informasi, misalnya media massa, media elektronik, buku, petugas kesehatan, kerabat dekat dan sebagainya. Pengetahuan ini dapat membentuk keyakinan tertentu sehingga seseorang berperilaku sesuai keyakinan tersebut.
Kurangnya pengetahuan ibu akan mempengaruhi ibu anak Balita untuk dapat mengatasi kekambuhan atau melakukan pencegahan agar tidak terjadi komplikasi. Pencegahan lebih baik dari pada pengobatan, demikian juga dengan diare pada Balita. Sebenarnya sangat sederhana dan tidak memerlukan biaya, hanya diperlukan disiplin dan ketekunan menjalankan aturan hidup sehat, sabar dan ikhlas dalam melaksanakan pola hidup bersih dan sehat.
D.    Tinjauan Tentang Personal Hygiene
1.  Pengertian
Personal hygiene berasal dari bahasa Yunani yang berarti personal yang artinya perorangan dan hygiene berarti sehat. Personal hygiene adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikis (Depkes RI, 2010). Menurut Santrock WJ, (2008), perawatan diri atau kebersihan diri (personal hygiene) merupakan perawatan diri sendiri yang dilakukan untuk mempertahankan kesehatan, baik secara fisik maupun psikologis.
Menurut Ananto (2008), memeilihara kebersihan dan kesehatan pribadi adalah salah satu upaya pendidikan kesehatan yang diberikan kepada peserta didik di sekolah atau madrasah dan di rumah. Melalui peningkatan kebersihan dan kesehatan pribadi, kesehatannya akan menjadi lebih baik.
Personal hygiene adalah cara perawatan diri manusia untuk memelihara kesehatan mereka. Pemeliharaan hygiene perorangan diperlukan untuk kenyamanan individu, keamanaan, dan kesehatan. Praktek hygiene sama dengan meningkatkan kesehatan (Potter dan Perry, 2009).
Personal hygiene adalah salah satu kemampuan dasar manusia dalam memenuhi kebutuhannya guna mempertahankan kehidupannya, kesehatan dan kesejahteraan sesuai dengan kondisi kesehatannya, klien dinyatakan terganggu keperawatan dirinya jika tidak dapat melakukan perawatan diri (Direja, 2011). Perawatan diri atau kebersihan diri (personal hygiene) merupakan perawatan diri sendiri yang dilakukan untuk mempertahankan kesehatan, baik secara fisik maupun psikologis (Hariza A, 2011).
2.  Tujuan Personal Hygiene
Tujuan personal hygiene adalah menghilangkan minyak yang menumpuk, keringat, sel-sel kulit yang mati dan bakteri, menghilangkan bau badan yang berlebihan. Memelihara integritas permukaan kulit, memberikan kesempatan pada perawatan untuk mengkaji kulit pasien.
3.  Manfaat Personal Hygiene
Menjaga kebersihan bukan hanya untuk terlihat bagus dan menarik tetapi juga untuk menjaga kesehatan kita serta mencegah timbulnya penyakit seperti diare dan kudis (gatal-gatal/penyakit kulit) misalnya:
3.1    Mencuci Tangan
Mencuci tangan penting untuk menjaga kebersihan tangan, cuci tangan dengan banyak air bersih dan sabun akan menghilangkan kuman, juga kebersihan kuku dan potong pendek.
3.2    Makanan
Memasak makanan sampai matang untuk membunuh kuman-kuman. Cuci tangan sebelum memasak dan sebelum makan.
3.3    Pakaian
Mencuci pakaian secara teratur dengan sabun dan keringkan di sinar matahari.


3.4    Tempat tinggal
Penting untuk menaruh sampah di tong sampah yang tertutup, jauh dari rumah, pakai jamban untuk buang air besar dan kecil.
4.      Jenis-Jenis Personal Hygiene
Menurut Wartonah (2008), jenis-jenis personal hygiene antara lain:
4.1    Perawatan Diri pada Kulit
Kulit merupakan salah satu bagian penting dari tubuh yang dapat melindungi tubuh dari berbagai kuman atau trauma, sehingga diperlukan perawatan yang adekuat (cukup) dalam mempertahankan fungsinya. Kulit secara umum mempunyai berbagai fungsi, diantaranya:
4.1.1      Melindungi tubuh dari masuknya berbagai kuman atau trauma jaringan bagian dalam yang juga dapat menjaga keutuhan kulit.
4.1.2      Mengatur keseimbangan suhu tubuh dan membantu produksi keringat serta penguapan.
4.1.3      Sebagai alat peraba yang dapat membantu tubuh menerima rangsangan dari luar melalui rasa sakit, sentuhan, tekanan, atau suhu.
4.1.4      Sebagai alat ekskresi keringat melalui pengeluaran air, garam, dan nitrogen.
4.1.5      Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit yang bertugas mencegah pengeluaran cairan tubuh secara berlebihan.
4.1.6      Memproduksi dan menyerap vitamin D sebagai penghubung atau pemberi vitamin D dari sinar ultraviolet matahari (Hidayat, 2008).
Yang dapat dilakukan untuk perawatan kulit yaitu dengan melakukan mandi. Mandi bermanfaat untuk menghilangkan atau membersihkan bau badan, keringat dan sel yang mati, serta merangsang sirkulasi darah, dan membuat rasa nyaman. Mandi menggunakan sabun mandi secara rutin minimal 2 kali sehari (bila perlu lakukan lebih sering bila kerja di tempat  kotor atau banyak berkeringat). Hindari penggunaan pakaian, handuk, selimut, sabun mandi, dan sarung secara berjamaah. Hindari penggunaan pakaian yang lembab/basah (karena keringat/sebab lain). Gunakan obat anti jamur kulit (bila perlu) (Hidayat, 2008). 
Mengganti pakaian dengan teratur. Minimal 1x sehari atau setelah mandi. Biasakan mengganti pakaian sesampainya di rumah setelah pulang sekolah atau bepergian karena pakaian dan keringat akan menempel pada pakaian setelah di pakai beraktivitas (Hidayat, 2008).
Kondisi kulit tergantung pada praktek hygiene dan paparan iritan lingkungan, sejalan dengan usia, kulit kehilangan layak kenyal di kelembaban. Pada kelenjar sebasea dan keringat menjadi kurang aktif. Epitalium menipis dan serabut kolagen elastis, menyusut, sehingga kulit mudah pecah. Perubahan ini merupakan peringatan ketika bergerak dan mengatur posisi pada manusia. Tujuan dari memberikan kulit dengan mandi yaitu membersihkan kulit, stimulasi sirkulasi, citra diri, pengurangan bau badan dan peningkatan rentang gerak (Direja, 2011).
Faktor ini memegang peranan penting dalam memelihara kulit, kulit bayi mudah terluka dan terkena infeksi, mereka harus melakukan dan dimandikan dengan hati-hati mencegah luka. Pada usia aqil baliq (remaja) kulit hendaknya dibersihkan dengan rapi dan jangan sampai ada rasa perih untuk membantu mencegah terjadinya peradangan kulit selama aqil baliq sampai kira-kira umur 50 tahun buangan dari kelenjar kulit mencapai maksimum karena itu perlu sering mandi agar badan tidak bau dan jangan sampai penuh daki dan kotoran (Direja, 2011).
Bertambahnya usia, membuat kulit makin tipis kurang elastis dan lemas, mulai muncul keriput yang sebagian besar terjadi di dalam dermis karena berkurangnya minyak yang keluar dari kelenjar sebacius, kulit menjadi kusam, bersisik, dan nampak kasar namun perubahan kulit karena usia dan alamiah. Pada kenyataannya banyak cara untuk membersihkan kulit, namun cara yang paling banyak adalah dipakai untuk membersihkan kulit adalah dengan sabun/detergen dan air, banyak jenis sabun yang beredar di pasaran dan di iklankan dengan begitu menarik. Anak kecil atau orang-orang lanjut usia memerlukan bantuan khusus untuk memilih sabun/detergen yang cocok, karena kulit mereka lebih muda terluka dan terasa perih, walaupun ia bukan lanjut usia jika kulitnya kering ia bisa memakai krim (Hidayat, 2008).
4.2    Perawatan Diri pada Kuku, Kaki dan Tangan
Kuku adalah struktur pelengkap kulit, kuku terdiri atas jaringan epithelial. Badan kuku adalah bagian dari yang tampak luar, akarnya terletak dalam kulit dalam lekat (alur) dimana kuku tumbuh dan mendapat makanan, kuku sehat berwarna merah muda dan cembung serta garis lengkungnya rata (Hidayat, 2008).
Kuku jari tangan dapat di potong dengan mengikirnya atau dengan batu oval (bujur), memotong kuku jangan sampai terlalu pendek karena dapat melukai kulit selaput dan kulit sekitar kuku. Sewaktu memotong kuku hendaknya direndam terlebih dahulu karena akan memidahkan dalam pemotongan dan mengurangi resiko cidera (Direja, 2011).
Kuku juga sering kali memerlukan perawatan khusus untuk mencegah infeksi, bau dan cidera pada jaringan. Perawatan dapat digabungkan pada saat mandi atau pada waktu yang terpisah. Masalah yang timbul bukan karena perawatan yang salah atau kurang terhadap kaki dan tangan seperti menggigit kuku atau memotong yang tidak tepat. Pemaparan dengan zat-zat kimia yang tajam dan rangkaian sepatu yang tidak pas, ketidak nyamanan dapat berpengaruh pada stress fisik dan emosional (Potter & Perry, 2009).
Menjaga kebersihan kuku merupakan salah satu aspek penting dalam mempertahankan perawatan diri karena kuman dapat masuk ke dalam tubuh melalui kuku (Hidayat, 2008). Oleh karena itu, Potong kuku 1x/mg atau saat terlihat panjang (gunakan pemotong kuku dan setelah dipotong ujung kuku dihaluskan/dikikir) (Direja, 2011). Masalah kuku kaki dan tangan sampai terjadi nyeri atau ketidaknyamanan dihasilkan karena perawatan yang salah atau kurang terhadap kaki dan tangan, seperti menggigit kuku dan pemotongan yang tidak tepat dan pemakaian sepatu yang tidak pas (Potter & Perry, 2009).
 Bersihkan tangan dan kaki sehari minimal 2x/hr atau setiap kotor. Mencuci tangan menggunakan sabun dan air bersih mengalir. Sabun dapat membersihkan kotoran dan membunuh kuman, karena tanpa sabun, kotoran dan kuman masih tertinggal di tangan. Oleh karena itu, biasakan cuci tangan dengan air bersih yang mengalir dan memakai sabun agar tangan bersih dan sehat. Saat harus cuci tangan yaitu setiap tangan kita kotor (setelah memegang uang, memegang binatang, berkebun), setelah buang air besar atau buang air kecil, sebelum makan dan sebelum memegang makanan (Direja, 2011).
Untuk menjaga kebersihan dan kesehatan pada kaki, gunakan alas kaki yang lembut, aman, dan nyaman. Jenis alas kaki yang dipakai dapat mempengaruhi maslah kaki dan kuku. Sepatu yang sempit atau kurang pas dapat mnyebabkan luka kulit tertentu dan mengganggu sirkulasi kaki. Menjaga kebersihan sepatu itu juga sangat penting. Begitu kaki berkeringat, keringatnya akan menempel ke sepatunya, sehingga menjadi tempat tumbuhnya bakteri yang bisa menyebabkan penyakit-penyakit di kaki. Segera setelah  pulang sekolah dan tiba di rumah, bukalah sepatunya terlebih dahulu. Kemudian untuk menjaga sepatunya tetap bersih dengan cara mencuci, menyikat, dan menyemirnya. Usai beraktivitas ajarkan anak untuk mencuci kakinya dan mengeringkannya dengan baik. Cuci kaki dengan baik ketika mandi atau sebelum pergi tidur. Keringkan dengan baik menggunakan handuk bersih (Direja, 2011).
4.3    Perawatan pada Rambut
Rambut merupakan bagian dari tubuh yang memiliki fungsi sebagai proteksi serta pengatur suhu, melalui rambut perubahan status kesehatan diri dapat diidentifikasi (Hidayat, 2008).
Rambut yang bersih tak hanya menghindarkan aroma tak sedap, tetapi juga menghindari gangguan pada kulit kepala seperti ketombe, mudah rontok atau bahkan kutu rambut. Rambut barmanfaat mencegah infeksi daerah kepala. Kebersihan rambut bisa membantu melancarkan sirkulasi darah pada kulit kepala. Rambut yang bersih juga membantu mengurangi stres dan membantu jaringan metabolisme agar tetap tumbuh dan berkembang secara normal. Kutu rambut pun tidak diberi kesempatan untuk hidup. Karena itu, ajarkan anak untuk keramas secara teratur minimal membersihkan rambut dua kali dalam seminggu, atau setelah berolah raga atau banyak mengeluarkan keringat, keramas dengan menggunakan shampoo, agar kebersihan rambut dan kulit kepala terjaga. Samphoo berfungsi membersihkan rambut juga untuk memberikan beberapa vitamin bagi rambut sehingga rambut subur dan berkilau. Selain itu untuk menjaga kebersihan rambut jangan lupa juga menjaga kebersihan sisir yang dipakai. Membersihkan sisir bisa bersamaaan saat kita keramas (Direja, 2011).
Penyisiran pada rambut juga sangat penting, karena dapat mencegah rambut menjadi kusut dan dapat membentuk gaya rambut. Rambut dan kulit kepala mempunyai kecenderungan kering, maka diperlukan penyisiran sehari-hari agar tidak kusut (Potter & Perry, 2009).
Rambut merupakan struktur kulit, biasanya rambut mengkilap, tapi tidak berminyak secara berlebihan, kering ataupun rapuh. Kesehatan yang baik secara menyeluruh penting artinya bagi rambut yang menarik dan seperti halnya kulit. Kebersihan membantu kita utuk memelihara badan supaya menarik, sisir digunakan untuk mengatur rambut tidak sama dengan manfaatnya sikat, sisir yang digunakan janganlah yang tajam karena dapat melukai kulit kepala (Direja, 2011).

Penampilan dan kesejahteraan seseorang sering kali tergantung dari cara penampilan dan perasaan mengenai rambutnya. Penyakit atau ketidak mampuan mencegah seseorang untuk memelihara perawatan rambut sehari-hari. Menyikat, menyisir dan bersampo adalah cara-cara dasar hygienes untuk semua usia. Pertumbuhan distribusi rambut dapat menjadi indikator status kesehatan umum, perubahan hormonal, stress emosional maupun fisik, penuaan, infeksi dan penyakit tertentu atau obat-obatan dapat mempengaruhi karakteristik rambut. Rambut normal adalah bersih, bercahaya dan tidak kusut, untuk kulit kepala harus bebas dari lesi kehilangan disebabkan karena praktik keperawatan yang tidak tepat atau penggunaan medikasi kemampuan terapi (Fizari, S., 2009)
4.4   Kebersihan Mulut Dan Gigi
Kesehatan umum yang baik sama pentingnya dengan kebersihan untuk memelihara mulut dan gigi yang sehat, misalnya hubungan antara gigi yang baik dan cukup makanan yang mengandung kalsium dan fospor disamping vitamin D yang perlu bagi tubuh.
Hygiene mulut membantu mempertahankan status kesehatan mulut, gigi, gusi, dan bibir. Hygiene mulut yang lengkap memberikan rasa sehat dan selanjutnya menstimulasi nafsu makan. Menusuk membersihkan gigi dari partikel-partikel makanan, plak, dan bakteri, memasase gusi dan mengurangi ketidak nyamanan yang dihasilkan dari bau dan rasa yang tidak nyaman (Potter & Perry, 2009).
Masalah yang besar adalah karies gigi (lubang) dan penyakit periodontal. Karies gigi merupakan masalah mulut paling umum, perkembangan lubang merupakan proses patologi yang melibatkan kerusakan email gigi pada akhirnya melalui kekurangan kalsium. Kesehatan dan kebersihan mulut pula penting artinya bagi orang yang bergigi palsu. Mulut harus dibersihkan sesering mungkin sesuai dengan petunjuk kesehatan dan kebersihan (Murti, S. 2012).
Gigi dan mulut adalah bagian penting yang harus dipertahankan kebersihannya, sebab melalui organ ini berbagai kuman dapat masuk. Tujuan dari menjaga kebersihan mulut dan gigi adalah supaya gigi bersih dan tidak berlubang, mulut tidak berbau, lidah bersih, gusi tidak bengkak, bibir tidak pecah-pecah. Sehingga menyikat gigi bertujuan untuk menghilangkan plak yang dapat menyebabkan gigi berlubang (caries) dan menyebabkan sakit gigi (Hidayat, 2008). 
 Pentingnya menyikat gigi, agar gigi tetap dalam kondisi baik hingga usia dewasa. Menggosok gigi secara benar dan teratur, sedikitnya 4 kali sehari, dianjurkan setiap selesai makan dan sebelum tidur. Menggosok gigi menggunakan sikat gigi sendiri. Sikat gigi harus diganti setiap 3 bulan sekali (Potter & Perry, 2009). 
Selain itu, yang penting diketahui adalah jenis makanan yang dapat merusak gigi dan membiasakannya untuk mengonsumsi makanan yang lebih sehat. Ajak anak untuk menghindari makan/minum yang terlalu panas/dingin dan yang terlalu asam. Anak harus banyak mengonsumsi makanan bergizi. Orangtua perlu juga membawa anak untuk memeriksakan kesehatan gigi dan mulut secara rutin kurang lebih 6 bulan sekali ke puskesmas atau ke dokter gigi. Jika merasa gigi nyilu/sakit segera berobat ke puskesmas atau dokter gigi (Murti, S, 2012).
4.5    Kebersihan Mata
Mata sering kali mencerminkan kesehatan seseorang. Mata yang sehat akan tampak jernih dan bersih dari kotoran mata yang mengandung Lysonyme, yaitu suatu enzim yang melindungi mata dari mikro organisme tertentu, kotoran mata dapat menempel pada bulu mata (mengering dan menjadi keras) disudut mata. Cairan yang dapat dipakai untuk membersihkan mata yaitu air bersih/saline (Potter & Perry, 2009).
Secara normal tidak ada perawatan khusus yang diperlukan untuk mata karena secara terus menerus dibersihkan oleh air mata, dan kelopak mata dan bulu mata mencegah masuknya partikel asing. Seseorang hanya memerlukan untuk memindahkan sekresi kering yang berkumpul pada kantus sebelah dalam atau bulu mata. Pembersihan mata biasanya dilakukan selama mandi dan melibatkan pembersihan dengan waslap pembersih yang dilembabkan kedalam air. Bersihkan daerah mata dari arah luar ke dalam (bersihkan kotoran mata yang menempel pada sudut kelopak mata) (Potter & Perry, 2009).
4.6    Kebersihan Telinga dan Hidung
Hygiene telinga mempunyai implikasi untuk ketajaman pendengaran bila subtansi lilin atau benda asing berkumpul pada kanal telinga luar, yang mengganggu konduksi suara. Hidung memberikan indera penciuman tetapi juga memantau temperatur dan kelembapan udara yang dihirup serta mencegah masuknya partikel asing ke dalam sistem pernafasan (Potter & Perry, 2009).
 Bersihkan telinga secara rutin (1x/1-2 mg) lakukan dengan hati-hati menggunakan alat yang bersih dan aman. Daun telinga dibersihkan waktu mandi kemudian dikeringkan dengan handuk atau kapas bersih (Hidayat, 2008). Tidak di perbolehkan menggunakan alat yang tajam seperti peniti untuk membersihkan serumen yang ada pada telinga (Murti, S., 2012).
Kecuali membersihkan telinga bagian luar, diperlukan juga upaya untuk menjaga telinga bagian dalam dengan memakai pembersih telinga khusus seperti kapas dan semacamnya. Membersihkan kotoran telinga dengan mempergunakan peniti atau jepit rambut sangat berbahaya karena dapat menusuk gendang telinga. Bersihkan hidung juga menggunakan kapas, sapu tangan atau tisue yang bersih. Biasanya mengangkat sekresi hidung secara lembut dengan membersihkan kedalam dengan tisu lembut. Hal ini menjadi hygiene harian yang diperlukan (Potter & Perry, 2009). Jika terdapat keluhan dengan telinga atau hidung segera periksa ke puskesmas/dokter (Murti, S., 2012).
Cara yang paling baik untuk membersihkan hidung adalah dengan mendenguskan (meniupkan udara keluar lubang hidung) secara pelan-pelan. Waktu mendenguskannya kedua lubang hidung harus terbuka. Biila salah satu lubang hidung tertutup ada bahaya masuknya kotoran ke dalam pipa eustacmius telinga (Potter & Perry, 2009)
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam membersihkan hidung adalah tidak boleh memasukan air ke dalam lubang hidung, hal ini dapat mendorong kotoran benda lain ke dalam serambi jantung, supaya tidak terisap-isap, mencegah terjadinya lika pada selaput. Hidung memberikan temperatur dan kelembaban udara yang pernafasan dihirup serta mencegah masuknya partikel asing ke dalam sistem kumulasi sekresi yang mengeras di dalam nares merusak sensasi alfaktori dan pernafasan (Potter dan Perry, 2009).
4.7    Kebersihan Alat Kelamin
Kebersihan kulit kemaluan dan perineum hal yang harus diperhatikan bagi kesehatan bila kebersihan diperhatikan dapat mengakibatkan gangguan fisik maupun psikis bagi pasien karena dapat mengakibatkan bau yang tidak sedap. Daerah sekitar kemaluan dan perineum sering kali kurang kena cahaya, hangat dan lembab sehingga sangat baik untuk berkembangnya bakteri terutama pada pasien yang di pasang kateter, mikro organisme dari daerah yang dipasang kateter dapat menjalar ke kandung kemih (Potter dan Perry, 2009).
5.      Tinjauan Personal Hygiene dengan Kejadian Diare
Kebiasaan mencuci tangan berpengaruh terhadap terjadinya diare pada balita. Hal ini disebabkan karena balita sangat rentan terhadap mikroorganisme dan berbagai agen infeksius, segala aktivitas balita dibantu oleh orang tua khususnya ibu, sehingga cuci tangan sangat diperlukan oleh ibu sebelum dan sesudah kontak dengan balita , yang bertujuan untuk menurunkan risiko terjadinya diare pada balita. Mencuci tangan yang baik dan benar dapat menurunkan angka kejadian diare sebesar 47% (Kemenkes R1 2013).
Buah dan sayur dapat terkontaminasi oleh Salmonella typhi, karena buah dan sayur kemungkinan dipupuk menggunakan kotoran manusia. Sebelum diolah bahan makanan seperti daging, ikan, telur, sayur, dan buah, harus dicuci bersih. Lebih-lebih pada makanan yang akan dikonsumsi langsung atau mentah. Bahan-bahan hewani seringkali mengandung kuman patogen sedangkan buah dan sayur seringkali mengandung pestisida atau pupuk. Oleh karena itu lakukan pencucian dengan air bersih dan mengalir (James Chin. 2006).



E.  Tinjauan Tentang Sanitasi Lingkungan
Sanitasi merupakan salah satu komponen dari  kesehatan lingkungan, yaitu perilaku yang disengaja untuk membudayakan hidup bersih untuk mencegah manusia bersentuhan langsung dengan kotoran dan bahan buangan berbahaya lainnya, dengan harapan dapat menjaga dan meningkatkan kesehatan manusia. Rendahnya mutu sanitasi lingkungan merupakan keadaan yang potensial untuk menjadi sumber penularan penyakit diare.
1.      Penggunaan Air Bersih
Air bersih adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dalam hal ini air memiliki kualitas yang sesuai dengan syarat-syarat pada pertemuan Menteri Kesehatan RI. Nomor 416/Menkes/per/IX/90 (Slamet, 2008).
Pada dasarnya air yang murni dalam arti sesuai benar dengan syarat kesehatan oleh karena itu harus diusahakan air yang ada sedemikian rupa sehingga syarat yang dibutuhkan tersebut terpenuhi. Di Indonesia telah ditetapkan standar kualitas air minum menurut Permenkes RI, No.416/Menkes/PER/1990 dalam Slamet (2008), yakni:
1.1 Syarat fisik
Air yang sebaiknya untuk minum adalah air yang tidak berwarna, tidak berasa, tidak berbau, jernih dengan suhu di bawah suhu udara sehingga menimbulkan rasa nyaman.


1.2  Syarat kimiawi
Air tidak mengandung zat-zat yang berbahaya untuk kesehatan seperti zat-zat beracun, dan tidak mengandung mineral-mineral serta zat-zat organik lebih tinggi dari jumalah yang telah ditentukan.
1.3  Syarat bakteriologi
Air tidak boleh mengandung suatu bibit penyakit-penyakit yang sering menular dengan perantara air adalah penyakit-penyakit yang tergolong dalam golongan “water borne disease” antara lain: cholera, diare, kulit, dan cacingan.
Air yang memenuhi syarat kesehatan mempunyai peranan penting dalam upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Untuk dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan air bersih maka kualitas dan kuantitasnya yang berkesinambungan merupakan indikator telah tercapainya penyediaan air bersih (Notoatmodjo, 2010).
Pencegahan penyakit diare dan penyakit lain yang ditularkan melalui air hanya dapat dilakukan dengan penyediaan air bersih, penggunaan jamban sehat, pembuangan limbah cair dan padat rumah tangga serta peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat seperti mencuci tangan dengan sabun setelah membuang air besar dan sebelum menjamah makanan serta menyimpan makanan dalam keadaan tertutup (Notoatmodjo, 2010).

Penyakit diare merupakan salah satu penyakit berbasis lingkungan. Dua penyebab diantaranya yang dominan yaitu sarana air bersih dan pembuangan tinja. Kedua penyebab tersebut akan berinteraksi bersama dengan perilaku manusia. Masyarakat yang terjangkau oleh penyediaan air yang benar-benar bersih mempunyai resiko menderita diare lebih kecil dibandingkan dengan masyarakat yang tidak mendapat air bersih. Masyarakat dapat mengurangi resiko terjadinya diare dengan menggunakan air tersebut dari kontaminasi, dimulai dari sumbernya sampai penyimpanan di rumah (Noer, 2009).
2.  Penggunaan Jamban Keluarga
Jamban adalah sutu rungan yang mempunyai fasilitas pembunagna kotoran manusia yang terdiri atas tempat jongkok atau tempat duduk dengan leher angsa atau tanpa leher angsa (cemplung) yang dilengkapi dengan unit penampungan kotoran dan air untuk membersihkannya (Simanjuntak, 2009).
Menurut Depkes RI, (2009), syarat jamban sehat yakni tidak mencemari tanah di sekitarnya, mudah dibersihkan dan aman digunakan, dilengkapi dinding dan atap pelindung, penerangan dan ventilasi cukup, lantai kedap air dan luas ruangan memadai, tersedianya air dan alat pembersih, kotoran manusia tidak di jamah oleh lalat, serta jamban tidak menimbulkan sarang nyamuk.


Klasifikasi jamban menurut Depkes RI (2009), sebagai berikut:
2.1  Jamban cemplung
Adalah jamban yang penampungnya berupa lubang yang berfungsi menyimpan dan meresapkan cairan kotoran/tinja ke dalam tanah dan mengendapkan kotoran ke dasar lubang. Untuk jamban cemplung di haruskan ada penutup agar tidak berbau.
2.2  Jamban  tangki septic/leher angsa
Jamban berbentuk leher angsa yang penampungnya berupa tangki septic kedap air yang berfungsi sebagai wadah proses penguraian kotoran manusia yang dilengkapi dengan resapnya.
Pembuangan tinja yang memenuhi syarat kesehatan bertujuan untuk mengisolasi tinja sedemikian rupa sehingga dapat mencegah terjadinya penularan penyakit yang di sebabkan oleh tinja dari penderita kepada orang sehat. Pembuangan tinja yang tidak memenuhi syarat kesehatan dapat menimbulkan penyakit pada manusia seperti penyakit kolera, typhus, diare, cacingan serta penyakit saluran pencernaan (Warsito, 2009).
Diare merupakan water bone disease selau ada di setiap saat di Indonesia dan cenderung meningkat pada musim hujan. Penyebab utamanya adalah kurangnnya kebersihan lingkungan dan kebersihan perorangan misalnya, orang yang buang air besar di tempat terbuka seperti di kebun, sungai, padahal seharusnya di jamban. Banyak orang tidak mempraktekkan kebiasaan cuci tangan dengan sabun sebelum makan. Lalat membawa kuman kotoran, kemudian hinggap di makanan yang tidak di tutup, orang yang memakan makanan tersebut kemungkinan besar akan terkena diare (Noer, 2009).
3.  Sampah
Sampah adalah sesuatu bahan atau benda padat yang sudah tidak di pakai lagi oleh manusia, atau benda padat yang sudah digunakan lagi dalam satu kegiatan manusia dan di buang. Para ahli kesehatan masyarakat Amerika membuat batasan, sampah (waste) adalah sesuatu yang tidak digunakan, tidak dipakai, tidak disenangi, atau sesuatu yang dibuang yang beraasal dari kegiatan manusia, dan tidak terjadi dengan sendirinya (Notoatmodjo, 2010).
Dari batasan ini jelas bahwa sampah adalah hasil suatu kegiatan manusia yang dibuang karena sudah tidak berguna. Sehingga bukan semua bukan semua benda padat yang tidak digunakan, dan dibuang disebut sampah, misalnya: benda-benda alam, benda-benda yang keluar dari bumi akibat dari gunung meletus, banjir, pohon di hutan yang tumbang akibat angin rebut, dan sebagainya. Dengan demikian, sampah mengandung prinsip-prinsip sebagai berikut:
3.1  Adanya sesuatu benda atau benda padat
3.2  Adanya hubungan langsung/tidak langsung dengan kegiatan manusia.
3.4   Benda atau bahan tersebut tidak dipakai lagi (Notoadmodjo, 2010).

Menurut Depkes (2009), bahwa menurut asalnya sumber-sumber sampah antara lain: sampah yang berasal dari pemukiman (domestic waste), sampah yang berasal dari tempat-tempat umum, sampah yang berasal dari perkantoran, sampah yang berasal dari jalan raya, sampah yang berasal dari industri (industrial wastes), sampah yang berasal dari pertanian/perkebunan, sampah yang berasal dari pertambangan, sampah yang berasal dari pertenakan dan perikanan.
Menurut Notoadmodjo (2010), sampah dapat dibagi menjadi berbagai jenis, yakni:
3.1     Berdasarkan zat kimia yang terkandung di dalamnya, sampah dibagi menjadi:
3.1.1      Sampah an-organik, adalah sampah yang umumnya tidak dapat     membusuk, misalnya: logam/besi, pecahan gelas, plastik, dan sebagainya.
3.1.2      Sampah organik, adalah sampah yang pada umumnya bisa membusuk, misalnya: sisa-sisa makanan, daun-daunan, buah-buahan, dan sebagainya.
3.2  Berdasarkan dapat dan tidaknya di bakar
3.2.1      Sampah yang mudah terbakar, misalnya: kertas, kayu, karet, plastik, kain bekas, dan sebagainya.
3.2.2      Sampah yang tidak dapat terbakar, misalnya: kaleng bekas, besi/logam bekas, pecahan gelas dan kaca, dan sebaginya.

3.3  Berdasarkan karakteristik sampah
3.4.1      Garbage yaitu jenis sampah hasil pengolahan atau pembuatan makanan, yang umumnya mudah membusuk, dan berasal dari rumah tangga, restoran, hotel dan sebaginya.
3.4.2      Rabish, yaitu sampah yang berasla dari perkantoran, misalnya: plastik, karton, dan sebagainya, maupun yang tidak mudah terbakar, seperti kaleng bekas, klip, pecahan kaca, dan sebagainya.
3.4.3      Ashes (abu), yaitu sisa pembakaran dari bahan-bahan yang mudah terbakar, termaksud abu rokok.
3.4.4      Sampah jalanan (street sweeping), yaitu sampah yang berasal dari pembersihan jalan, yang terdiri dari caampuran dari berbagai macam sampah.
3.4.5      Sampah industri, yaitu sampah-sampah yang berasal dari sampah-sampah industri atau pabrik.
3.4.6      Bangkai binatang (dead animal), yaitu bangkai binatang yang mati karena alam, ditabrak kendaraan, atau dibuang oleh orang.
3.4.7      Sampah pembangunan (construction waste), yaitu sampah dari proses pembangunan gedung, rumah dan sebagainya, yang berupa puing-puing, potongan-potongan kayu, besi, beton, bambu, dan sebagainya.
Sampah erat kaitannya dengan kesehatan masyarakat, karena di sampah tersebut akan hidup berbagai macam mikroorganisme penyebab penyakit (bakteri pathogen), dan juga binatang serangga sebagai pemindah/penyebar penyakit (vector). Oleh sebab itu, sampah harus dikelola dengan baik sampai sekecil mungkin sampai tidak mengganggu atau mengancam kesehatan masyarakat. Yang dimaksud dengan pengolahan sampah sedemikian rupa  adalah meliputi: pengumpulan, pengangkutan, sampai dengan pemusnahan atau pengolahan sampah sedemikian rupa sehingga sampai tidak menjadi gangguan kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup (Kusnoputranto, 2008).
Cara pengolahan sampah menurut Notoadmodjo (2010), antara lain sebagai berikut:
3.1  Pengumpulan dan pengangkutan sampah
Pengumpulan sampah masing-masing menjadi tanggung jawab dari masing-masing rumah tangga atau industri yang menghasilkan sampah.  Oleh sebab itu, mereka ini harus membangun atau mengadakan tempat khusus untuk mengumpulkan sampah. Kemudian dari masing-masing tempat pengumpulan sampah tersebut harus di angkut ke tempat penampungan sementara (TPS) sampah, dan selanjutnya ke tempat penampungan akhir.



3.2  Pemusnahan pengolahan sampah
Menurut Notoatmodjo (2010), pengolahan dan pengolahan sampah padat ini dapat dilakukan melalui berbagai cara antara lain:
3.2.1      Ditanam (landfill), yaitu pemusnahan sampah dengan membuat lubang di tanah kemudian sampah dimasukkan dan ditimbun dengan tanah.
3.2.2      Dibakar (inseneration), yaitu memusnahkan sampah dengan jalan membakar di dalam tungku pembakaran (inseractor).
3.2.3      Dijadikan pupuk (composting), yaitu pengolahan sampah menjadi pupuk (compos), khususnya untuk sampah organik, daun-daunan, sisa makanan, dan sampah lain yang mudah membusuk.
Menurut Depkes RI (2009), menyebutkan bahwa, sebagai gangguan yang dapat ditimbulkan oleh sampah sebagai akibat tidak terkelolanya sampah dengan baik, antara lain tempat berkembang biaknya sarang dari serangga terutama lalat dan tikus, dapat menjadikan sumber pengotor tanah, sumber air permukaan, air tanah maupun mencemari udara, menjadi tempat hidup sumber kuman-kuman penyakit yang membahayakan kesehatan masyarakat, mengganggu keindahan lingkungan hidup, dan dapat menurunkan produktivitas kerja.



4.    Hubungan Sanitasi Lingkungan dengan Diare
Kebersihan lingkungan adalah suatu usaha kesehatan masyarakat yang mempelajari pengaruh kondisi lingkungan terhadap kesehatan manusia, upaya mencegah timbulnya penyakit karena pengaruh lingkungan kesehatan serta membuat kondisi lingkungan sedemikian rupa, sehingga terjamin pemeliharaan kesehatan. Termasuk upaya melindungi, memelihara, dan mempertinggi derajat kesehatan manusia (perorangan ataupun masyarakat), sedemikian rupa sehingga berbagai faktor lingkungan yang menguntungkan tersebut tidak sampai menimbulkan gangguan kesehatan (Azwar, 2005).
Sanitasi lingkungan memiliki peran yang cukup dominan dalam penyediaan lingkungan yang mendukung kesehatan anak dan tumbuh berkembang. Lingkungan atau sanitasi tersebut meliputi rumah sehat, penggunaan sarana air bersih, penggunaan jamban keluarga, pembuangan air limbah dan pembuangan sampah. Sanitasi lingkungan yang buruk dapat meningkatkan jumlah vektor penyebab diare, sehingga angka kejadian diare dapat meningkat.




F.      Kerangka Penelitian
Pada penelitian ini yang menjadi variabel independen (variabel bebas) yaitu pengetahuan, personal hygiene dan sanitasi lingkungan. Sedangkan variabel dependen (variabel terikat) yaitu kejadian diare pada Balita.
Variabel Independen                                         
Pengetahuan
 
                                                                                      Variabel Dependen
Personal Hygiene
 
                                                                                     













 












Keterangan :
: Garis penghubung variabel yang diteliti
:  Variabel independen yang diteliti
:  Variabel independen yang tidak diteliti
:  Variabel dependen yang diteliti
Gambar 2.1 Kerangka Pikir Penelitian






G.    Hipotesis Penelitian
1.      Ho : Tidak ada hubungan pengetahuan dengan kejadian diare pada Balita
di wilayah kerja Puskesmas Jati Raya Kota Kendari Tahun 2015
Ha : Ada hubungan pengetahuan dengan kejadian diare pada Balita di
wilayah kerja Puskesmas Jati Raya Kota Kendari Tahun 2015.
2.      Ho : Tidak ada hubungan personal hygiene dengan kejadian diare pada
Balita di wilayah kerja Puskesmas Jati Raya Kota Kendari Tahun 2015
Ha : Ada hubungan personal hygiene dengan kejadian diare pada Balita di
wilayah kerja Puskesmas Jati Raya Kota Kendari Tahun 2015.
3.      Ho : Tidak ada hubungan sanitasi lingkungan dengan kejadian diare pada
Balita di wilayah kerja Puskesmas Jati Raya Kota Kendari Tahun 2015
Ha : Ada hubungan sanitasi lingkungan dengan kejadian diare pada Balita
di wilayah kerja Puskesmas Jati Raya Kota Kendari Tahun 2015.
.








BAB III
METODE PENELITIAN

A.    Jenis Penelitian
            Jenis penelitian yang digunakan adalah survei analitik dengan pendekatan obsevasional dan menggunakan rancangan Cross Sectional Study yaitu antara variabel bebas dan variabel terkait diamati secara bersamaan (Riyanto, 2011).

B.  Waktu dan Tempat Penelitian

     1.   Waktu
Penelitian ini telah dilaksanakan dari tanggal 19 Mesi s/d tanggal 19 Juni 2015 dilaksanakan setelah disetujui dan diseminarkan pada seminar proposal.
2.  Tempat
Penelitian ini dilaksanakan wilayah kerja Puskesmas Jati Raya Kota Kendari Tahun 2015.

C.  Populasi dan Sampel

1.  Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu-ibu yang memiliki Balita yang berkunjung di Puskesmas Jati Raya pada saat penelitian
2.  Sampel
Sampel adalah sebagian yang diambil dari objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Sugiyono, 2010). Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian ibu-ibu yang memiliki anak Balita yang berkunjungan di Puskesmas Jati Raya. Besar sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini dihitung dengan menggunakan rumus:
Keterangan:
n           =  jumlah sampel
N          =  jumlah populasi
p           =  estimator proporsi populasi (0.05)
q           =  1,0 – p
Z2         =  1.96
d           =  0.05 (Sanjaka, 2011).
Sehingga didapatkan:
  
  
  
    ≈ 64 responden
Jadi total sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebanyak 64 orang responden.



3.  Teknik Sampling
Teknik penarikan sampel dalam penelitian ini adalah menggunakan Metode Accidental sampling  yaitu tehnik pengambilan sampling yang ada pada saat dilakukan penelitian (Sugiyono, 2005). Dimana sampel pada penelitian dipilih adalah sebagian ibu-ibu yang memiliki anak Balita. Jika penderita telah dijadikan sample, maka pada kunjungan berikutnya tidak dijadikan lagi sebagai sampel pada penelitian ini.
D.  Kriteria Inklusi dan Eksklusi
1.     Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subjek penelitian dari suatu populasi target yang terjangkau dan akan diteliti (Nursalam, 2008). Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.1     Ibu yang mempunyai anak Balita yang pernah datang berkunjung di Puskesmas Jati Raya yang positif terdiagnosa diare
1.2     Ibu yang dapat berkomunikasi dengan baik
1.3     Ibu yang bersedia mendatangani lembar persetujuan
2.  Kriteria Eksklusi
Kriteria eksklusi adalah menghilangkan atau mengeluarkan subyek yang memenuhi kriteria inklusi karena berbagai sebab sehingga tidak dapat menjadi responden penelitian (Nursalam, 2008). Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
2.1  Ibu yang mempunyai anak Balita menderita penyakit lain
2.2  Ibu yang tidak bersedia mendatangani lembar persetujuan

E.  Variabel dan Defenisi Operasional

1.     Variabel Penelitian
Pada penelitian ini, variabel yang diteliti terdiri dari:
1.1     Variabel bebas (independen): pengetahuan, personal hygiene dan sanitasi lingkungan.
1.2     Variabel terikat (dependen): kejadian penyakit diare pada Balita.
2.     Defenisi Operasional
2.1     Kejadian diare pada Balita adalah ibu yang memiliki Balita yang didiagnosa menderita penyakit diare oleh dokter.
Kriteria objektif:
Menderita             : Jika berdasarkan catatan atau rekam medik didiagnosa  menderita penyakit diare oleh dokter.
Tidak menderita   : Jika berdasarkan catatan atau rekam medik tidak
                                      didiagnosa penyakit diare oleh dokter.
2.2     Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui responden, baik itu mengenai pengertian, penyebab, cara penularan, diagnostik, pengobatan dan pencegahan penyakit diare. Pengukuran dilakukan dengan kuisioner yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur.
Kriteria/cara pengukuran dalam penelitian ini dengan menggunakan skala Guttman (Sugiyono, 2010). Pertanyaan pengetahuan berjumlah 10 butir soal, jika menjawab “benar” diberi skor 1 (satu) dan jika “salah” diberi skor 0 (nol). Penilaian dari variabel tersebut merujuk pada skala Guttman. Untuk mendapatkan persentase jawaban menggunakan rumus:
Skor tertinggi  = 1 x 10 = 10 (100%)
Skor terendah  = 0 x 10 = 0  (0%)
I  =  Interval Kelas
R  = Range/kisaran (100-0 = 100)
K = Jumlah kategori (2)
Interval Kelas : 100 / 2 = 50
Kriteria objektif:
Cukup       : Jika jawaban responden > 50%
Kurang      : Jika jawaban responden < 50%
2.3     Personal hygiene adalah tindakan kebersihan perorangan yang meliputi mencuci tangan setelah buang air besar dan membersihkan tinja, mencuci tangan sebelum menyuapi dan mencuci tangan menggunakan sabun yang dilakukan ibu sehari-hari.
Kriteria/cara pengukuran dalam penelitian ini dengan menggunakan skala Guttman (Sugiyono, 2010). Pertanyaan personal hygiene berjumlah 10 butir soal, jika menjawab “ya” diberi skor 1 (satu) dan jika “tidak” diberi skor 0 (nol). Penilaian dari variabel tersebut merujuk pada skala Guttman. Untuk mendapatkan persentase jawaban menggunakan rumus:
Skor tertinggi  = 1 x 10 = 10 (100%)
Skor terendah  = 0 x 10 = 0  (0%)
I  =  Interval Kelas
R  = Range/kisaran (100-0 = 100)
K = Jumlah kategori (2)
Interval Kelas : 100 / 2 = 50
Kriteria objektif:
Cukup       : Jika jawaban responden > 50%
Kurang      : Jika jawaban responden < 50%
2.4     Sanitasi lingkungan adalah suatu keadaan atau kesehatan lingkungan yang meliputi penggunaan sumber air bersih, penggunaan jamban, pengolahan sampah dan pengolahan air limbah yang dilakukan dalam rumah tangga.
Kriteria/cara pengukuran dalam penelitian ini dengan menggunakan skala Guttman (Sugiyono, 2010). Pertanyaan sanitasi lingkungan berjumlah 10 butir soal, jika menjawab “ya” diberi skor 1 (satu) dan jika “tidak” diberi skor 0 (nol). Penilaian dari variabel tersebut merujuk pada skala Guttman. Untuk mendapatkan persentase jawaban menggunakan rumus:
Skor tertinggi  = 1 x 10 = 10 (100%)
Skor terendah  = 0 x 10 = 0  (0%)
I  =  Interval Kelas
R  = Range/kisaran (100-0 = 100)
K = Jumlah kategori (2)
Interval Kelas : 100 / 2 = 50
Kriteria objektif:
Cukup       : Jika jawaban responden > 50%
Kurang      : Jika jawaban responden < 50%

F.  Jenis dan Cara Pengumpulan Data

1.     Jenis data
Jenis data dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer yaitu mengenai pengetahuan, personal hygiene, sanitasi lingkungan dan kejadian diare pada Balita. Sedangkan data sekunder mengenai gambaran umum lokasi penelitian dan lain-lain (Purwanto, 2008).
2.     Cara pengumpulan data
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner untuk mendapatkan data tentang dimensi-dimensi dari konstruk-konstruk yang dikembangkan dalam penelitian ini. Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawab. Kuesioner ini diberikan kepada responden secara langsung (Purwanto, 2008).

G.  Pengolahan dan Analisis Data

1.     Pengolahan data
Pengolahan data pada dasarnya merupakan suatu proses untuk memperoleh data atau data ringkasan berdasarkan suatu kelompok data mentah dengan menggunakan rumus tertentu sehingga menghasilkan informasi yang diperlukan. Pengolahan data dilakukan dengan cara:
1.1  Pengeditan (editing)
Editing dimaksudkan untuk meneliti tiap daftar pertanyaan yang diisi agar lengkap untuk mengoreksi data yang meliputi kelengkapan pengisian atau jawaban yang tidak jelas, sehingga jika terjadi kesalahan atau kekurangan data dapat dengan mudah terlihat dan segera dilakukan perbaikan. Proses editing dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mengecek kelengkapan kuesioner yang telah diisi oleh responden untuk memastikan bahwa seluruh pertanyaan dalam kuesioner telah diisi sesuai dengan petunjuk sebelum menyerahkan kuesioner.
1.2  Pengkodean (coding)
Setelah data terkumpul dan selesai diedit, tahap berikutnya adalah mengkode data, yaitu melakukan pemberian kode untuk setiap pertanyaan dan jawaban dari responden untuk memudahkan dalam pengolahan data. Pengkodean yang dilakukan oleh peneliti dalam penelitian ini yaitu dengan memberi nomor yang mewakili dan berurutan pada tiap kuesioner sebagai kode yang mewakili identitas responden dan memberikan kode pada setiap jawaban responden.
1.3  Pemberian skor (scoring)
Skoring adalah memberikan penilaian terhadap item-item yang perlu diberi penilaian atau skor.
1.4  Tabulasi (tabulating)
Tabulating dilakukan dengan memasukkan data ke dalam tabel yang tersedia kemudian melakukan pengukuran masing-masing variabel (Purwanto, 2008).
2.     Analisis data
2.1  Analisis Univariat
Analisis univariat digunakan untuk mengetahui distribusi dan persentase dari tiap variabel bebas (pengetahuan, personal hygiene dan sanitasi lingkungan) dengan variabel terikat (kejadian diare pada balita) (Sugiyono, 2010). Analisa data dilakukan secara manual dengan menggunakan kalkulator, kemudian hasilnya disajikan dalam bentuk tabel frekuensi disertai penjelasan-penjelasan. Sedangkan dalam pengolahan data digunakan rumus:
keterangan:
f    : frekuensi yang sedang dicari persentasenya
N   : number of cases (jumlah frekuensi atau banyaknya individu)
P    : angka persentase (Sugiyono, 2010).

2.2  Analisis Bivariat
Analisa bivariat dilakukan untuk melihat hubungan variabel independen dengan variabel dependen dalam bentuk tabulasi silang antara kedua variabel tersebut dengan menggunakan uji statistic Chi_Square.

Keterangan:
k : banyak kategori/sel 1,2... k
0i : frekuensi observasi untuk kategori ke-i
 : frekuensi ekspektasi untuk kategori ke-i
Pengambilan kesimpulan dari pengujian hipotesis adalah sebagai baik berikut:
2.2.1  Apabila nilai χ2 hitung  > X2 atau p < a, maka Ho ditolak dan Ha diterima, artinya ada hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen.
2.2.2  Apabila X² hitung < X², atau P > a, maka Ho diterima dan Ha ditolak, artinya tidak ada hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen

H.  Penyajian Data
Data dalam penelitian ini disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi berdasarkan variabel yang diteliti disertai dengan narasi secukupnya (STIK Avicenna, 2008).

I.  Etika Penelitian
Dalam melakukan penelitian, peneliti memandang perlu adanya rekomendasi pihak institusi atas pihak lain dengan mengajukan permohonan izin kepada instansi tempat penelitian dalam hal ini pihak Puskesmas Jati Raya. Setelah mendapat persetujuan, barulah dilakukan penelitian dengan menekankan masalah etika penelitian yang meliputi:
1.     Informed concent
Lembar persetujuan diberikan kepada responden yang akan diteliti dan disertai judul penelitian dan manfaat penelitian, bila subyek menolak maka peneliti tidak akan memaksakan kehendak dan tetap menghormati hak-hak subyek.
2.       Anonimity
Untuk menjaga kerahasiaan, peneliti tidak akan mencantumkan nama responden pada kuesioner, tetapi pada kuesioner tersebut diberikan kode responden.
3.       Confidentiality
Kerahasiaan informasi responden dijamin oleh peneliti dan hanya kelompok data tertentu saja yang dilaporkan sebagai hasil penelitia.
4.     Beneficence
Peneliti melindungi subjek agar terhindar dari bahaya dan ketidaknyamanan fisik.




5.     Full disclosure
Peneliti memberikan hak kepada responden untuk membuat keputusan secara sukarela tentang partisipasinya dalam penelitian ini dan keputusan tersebut tidak dapat dibuat tanpa memberikan penjelasan selengkap-lengkapnya (Nursalam, 2008).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar