BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Data World Health Organization (WHO, 2014), diare membunuh dua juta anak di
dunia setiap tahunnya. Diare hingga kini masih merupakan penyebab utama
kesakitan dan kematian pada bayi dan anak-anak secara global di seluruh dunia.
Dari semua kematian yang terjadi pada anak usia di bawah lima tahun 14,0% diakibatkan oleh diare.
Berdasarkan profil kesehatan Indonesia tahun 2008,
dilaporkan kejadian luar biasa (KLB) diare terjadi di 15 provinsi dengan case
fatality rate (CFR) 2,48%. Tahun 2009, dilaporkan KLB diare terjadi di 15
provinsi dengan CFR 1,74%. Sedangkan tahun 2010 dan tahun 2011 dilaporkan KLB
diare terjadi di 11 provinsi dengan masing-masing CFR 1,74%. Untuk tahun 2012
dilaporkan KLB diare terjadi di 14 provinsi dengan CFR 1,75%. Sedangkan untuk
tahun 2013 dilaporkan KLB diare terjadi di 12 provinsi dengan CFR sebesar 1,91%
(Kemenkes RI, 2013).
Di Sulawesi Tenggara tahun 2011, angka kejadian penyakit
diare pada Balita sebanyak 13.002 kasus, dan tahun 2012 sebanyak 14.669 kasus. Untuk tahun 2013 kejadian diare pada Balita sebanyak 14.754 kasus (Dinkes Sultra, 2013).
Dinas Kesehatan Kota Kendari tahun 2011 menunjukkan
prevalensi data kejadian diare di Kota Kendari sebesar 2,34% (6.248 kasus) dan 3.134 kasus
(50,16%) terjadi pada Balita dengan korban meninggal 2 orang
(CFR: 0.04 %). Pada tahun 2012 meningkat menjadi 23,47 % (6.188 kasus) dan sebanyak
3,390 kasus (54,78 %) terjadi pada Balita dengan korban meninggal 3
orang (CFR: 0.05%). Dan pada tahun 2013 sebanyak 3,05 % (5.366 kasus) sebanyak 4.122
kasus (76,81 %) terjadi pada Balita dengan korban meninggal 3
orang (CFR: 0,04 %) (Dinkes Kota Kendari, 2013).
Berdasarkan laporan dari Puskesmas Jati Raya Kota Kendari
menunjukkan bahwa angka kejadian diare pada Balita tahun 2011 sebanyak 464
kasus. Angka kejadian diare pada Balita untuk tahun 2012 sebanyak 489 kasus.
Pada tahun 2013, jumlah Balita yang terkena diare meningkat sebanyak 593 kasus.
Sedangkan pada tahun 2014 jumlah
kunjungan ibu yang memiliki Balita sebanyak 473 orang dengan Balita yang
menderita diare sebanyak 121 kasus. Penyakit Diare selalu masuk dalam 10 besar penyakit di wilayah kerja Puskesmas
Jati raya dalam 5 tahun terakhir
(Puskesmas Jati Raya, 2014).
Berdasarkan hasil observasi awal yang dilakukan dengan
pengukuran quesioner kepada 10 responden pada tanggal 5 Maret 2015 masih banyak
ibu-ibu yang memiliki personal hygiene yang kurang. Dari 10 orang responden
hanya 2 (20%) orang yang memiliki personal hygiene yang baik dan 8 (80%) orang
responden personal hygiene kurang. Sedangkan untuk sanitasi lingkungan yang kurang terutama terkait dalam hal
penanganan sampah, pembuangan tinja dan limbah keluarga. Berdasarkan data kesehatan lingkungan Puskesmas Jati raya
masih terkategori kurang memadai dengan
persentase 48%.
.
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya diare
antara lain adalah pengetahuan,
personal hygiene, sanitasi lingkungan, gizi, pendidikan, sosial ekonomi
dan perilaku masyarakat. Faktor lingkungan merupakan salah satu penyebab diare
yaitu kebersihan lingkungan dan perorangan seperti kebersihan air yang digunakan
untuk susu dan makanan. Faktor gizi seperti tidak diberikannya makanan tambahan
meskipun anak telah berusia 4-6 bulan (Soegijanto, 2009).
Hasil penelitian Ratnawati (2009) menyebutkan bahwa yang
menjadi resiko terjadinya diare adalah faktor perilaku ibu, penggunaan sarana
air bersih dan penggunaan jamban dan menurut hasil penelitian Adisasmito (2007)
menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya diare pada Balita
adalah faktor ibu (umur, pengetahuan, pendidikan, status kerja, sikap, perilaku,
praktek hygiene), faktor Balita (usia, jenis kelamin, ASI eksklusif imunisasi,
status gizi), faktor sosial ekonomi dan faktor lingkungan.
Faktor perilaku yang dapat menyebabkan penyebaran kuman
infeksi dan meningkatkan risiko diare antara lain
adalah tidak memberikan ASI secara penuh pada bayinya sampai dengan umur 6
bulan, menggunakan susu botol yang tidak bersih, tidak mencuci tangan sesudah
buang air besar, tidak membuang tinja dengan benar, dan masih banyak rumah yang
belum mempunyai jamban (Dwianto, 2010).
Perilaku merupakan faktor yang sangat penting di dalam
turut mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat setelah faktor lingkungan. Pada
kasus penyakit diare, biasanya faktor perilaku selalu dihubungkan dengan aspek
pengetahuan, personal hygiene dan sanitasi lingkungan. Penyakit diare merupakan
penyakit saluran pencernaan yang penyebarannya lebih sering akibat konsumsi
makanan maupun minuman, sehingga masyarakat dengan pengetahuan yang kurang
serta kondisi personal hygiene dan sanitasi lingkungan yang buruk akan
berpotensi dalam menimbulkan penyebaran diare
Personal hygiene yang kurang menjadi faktor risiko terjadinya diare. Mencuci tangan penting untuk menjaga
kebersihan tangan, cuci tangan dengan sabun akan menghilangkan kuman. Personal hygiene adalah salah satu kemampuan
dasar manusia dalam memenuhi kebutuhannya guna mempertahankan kehidupannya,
kesehatan dan kesejahteraan sesuai dengan kondisi kesehatannya (Direja, 2011).
Sanitasi lingkungan yang mendukung berupa ketersediaan sumber air, ketersediaan
jamban, ketersediaan tempat pembuangan sampah dan saluran air limbah dapat
menurunkan sumber penularan penyakit yang dapat memicu diare. Rendahnya mutu sanitasi lingkungan merupakan keadaan yang potensial untuk
menjadi sumber penularan penyakit diare.
Berdasarkan fenomena di
atas peneliti telah melakukan penelitian dengan judul
Faktor - faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Diare pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Jati Raya Tahun 2015.
B. Rumusan
Masalah
Permasalahan penelitian berdasarkan latar belakang
tersebut di atas dapat dirumuskan bahwa:
1. Apakah ada hubungan
pengetahuan ibu dengan kejadian diare pada Balita di wilayah kerja Puskesmas
Jati Raya Kota Kendari Tahun 2015?
2. Apakah ada hubungan
personal hygiene dengan kejadian diare pada Balita di wilayah kerja Puskesmas
Jati Raya Kota Kendari Tahun 2015?
3. Apakah ada hubungan
sanitasi lingkungan dengan kejadian diare pada Balita di wilayah kerja
Puskesmas Jati Raya Kota Kendari Tahun 2015?
C. Tujuan
Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan pengetahuan,
personal hygiene dan sanitasi lingkungan dengan kejadian diare pada Balita di
wilayah kerja Puskesmas Jati Raya Kota Kendari Tahun 2015.
2. Tujuan Khusus
2.1 Untuk mengetahui
hubungan pengetahuan dengan kejadian diare pada Balita di wilayah kerja
Puskesmas Jati Raya Kota Kendari Tahun 2015.
2.2 Untuk mengetahui
hubungan personal hygiene dengan kejadian diare pada Balita di wilayah kerja
Puskesmas Jati Raya Kota Kendari Tahun 2015.
2.3 Untuk mengetahui
hubungan sanitasi lingkungan dengan kejadian diare pada Balita di wilayah kerja
Puskesmas Jati Raya Kota Kendari Tahun 2015.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi
Puskesmas Jati Raya
Memberikan informasi bagi instansi
terkait khususnya Puskesmas Jati Raya tentang faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi kejadian diare pada Balita sehingga dapat dijadikan dasar dalam
pengambilan kebijakan dan penanggulangan diare pada Balita di wilayah kerja
Puskesmas Jati Raya.
2. Bagi
Masyarakat
Memberikan informasi tentang faktor
pengetahuan, personal hygiene dan sanitasi lingkungan yang mempengaruhi
kejadian diare pada Balita sehingga masyarakat dapat melakukan upaya pencegahan
kasus diare di wilayah kerja Puskesmas Jati Raya. .
3. Bagi
Peneliti
Bagi peneliti merupakan pengalaman yang
sangat berharga dalam memperluas wawasan keilmuan mengenai faktor yang
berhubungan dengan kejadian diare pada Balita dan juga sebagai media
pembelajaran dalam menemukan kebenaran dengan cara memecahkan masalah secara
sistimatis dan logis
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang Penyakit Diare
1. Definisi
Menurut World
Health Organisation (WHO), diare adalah buang air besar encer atau cair lebih
dari tiga kali sehari. Secara operasional didefinisikan bahwa diare adalah
suatu keadaan dimana defekasi yang tidak normal dengan frekuensi lebih dari
tiga kali sehari, konsistensi cair disertai atau tidak disertai darah atau
lendir (Depkes RI, 2010). Menurut Brunner dan Suddarth (2008), diare merupakan
kondisi dimana terjadi frekuensi defekasi yang abnormal (lebih dari tiga kali
per hari), serta perubahan dalam fisik (lebih dari 200 gr per hari) dan
konsistensi feses lebih cair.
Diare adalah keadaan frekuensi buang air besar lebih dari 4 kali pada
bayi dan lebih dari 3 kali pada anak dan dewasa, konsistensi cair, ada lendir atau darah dalam faeces (Ngastiyah,
2009). Definisi diare adalah kehilangan cairan dan elektrolit secara buang air
besar dengan bentuk tinja yang encer atau cair (Suriadi, 2009). Sedangkan
menurut Mansjoer (2008), bahwa diare adalah defekasi lebih dari 3 kali sehari
dengan atau tanpa darah atau lendir, dimana diare adalah suatu peningkatan
frekuensi, keenceran dan volume tinja serta diduga selama 3 tahun pertama
kehidupan, seorang anak akan mengalami 1 – 3 kali episode akut diare berat.
2. Jenis
- Jenis Diare
Adapun jenis-jenis
diare adalah sebagai berikut:
2.1 Diare akut, yaitu diare yang berlangsung
kurang dari 14 hari (umumnya kurang dari tujuh hari). Akibat dari diare akut
adalah dehidrasi, sedangkan dehidrasi merupakan penyebab utama kematian bagi
penderita diare.
2.2 Disentri, yaitu diare yang disertai darah
dalam tinjanya. Akibat disentri adalah anoreksia, penurunan berat badan yang
cepat, kemungkinan terjadi komplikasi pada mukosa.
2.3
Disentri persisten, yaitu diare yang berlanjut
lebih dari 14 hari secara terus menerus. Akibat diare ini adalah penurunan
berat badan dan gangguan metabolisme.
3.
Etiologi
Etiologi penyakit diare, pada 25
tahun yang lalu sebagian besar belum diketahui, akan tetapi kini telah lebih
dari 80% penyebabnya telah diketahui. Pada saat ini telah dapat diidentifikasi
tidak kurang dari 25 jenis mikroorganisme yang dapat menyebabkan diare pada
bayi dan anak. Penyebab ini dapat digolongkan lagi ke dalam penyakit yang
ditimbulkan akibat virus, bakteri dan parasit usus. Penyebab utama oleh virus
yang terutama yaitu Rotavirus (40 –
60%), sedangkan virus lainnya adalah virus Norwalk,
Anstrovirus, Calcivirus, Corobavirus,
dan Minorotavirus. Sedangkan penyebab
diare oleh parasit adalah Balantidium
Coli, Capilaria, Philippinensis, Cryptosporadium, Entamoeba,
Lamlia, Isospora billi, Fasiolopsis
bucki sarcocystis suihominis, Strongiloides
dan Trichuris Trichiura (Soegijanto,
2009).
Virus dapat menyebabkan 40-60% dari semua penyakit
diare pada bayi, dan anak yang berobat ke rumah sakit, sedangkan untuk
komunitas sebesar 15% patogenea, terjadi diare yang disebabkan virus (misalnya
patovirus) (Soegijanto, 2009).
Penyebab diare berkisar dari 70% sampai 90% dapat
diketahui dengan pasti, penyebab diare dapat dibagi menjadi 2 yaitu (Suharyono,
2009):
3.1 Penyebab tidak langsung
Penyakit tidak
langsung atau faktor-faktor yang mempermudah atau mempercepat terjadinya diare
seperti: keadaan gizi, hygiene dan sanitasi, kepadatan penduduk, serta keadaan
sosial ekonomi.
3.2 Penyebab langsung
Termasuk dalam penyakit langsung antara lain infeksi
bakteri virus dan parasit, malabsorbsi, alergi, keracunan bahan kimia maupun
keracunan oleh racun yang diproduksi oleh jasad renik, ikan, buah dan
sayur-sayuran. Ditinjau dari sudut patofisiologi, penyakit diare akut dibagi
menjadi 2 golongan yaitu (Suharyono, 2009):
3.2.1
Diare sekresi. Disebabkan oleh infeksi dari
golongan bakteri seperti shigella, salmonella, E. coli, bacillus careus,
clostridium. Hiperperistaltic usus halus yang berasal dari bahan-bahan makanan
kimia misalnya keracunan makanan, makanan pedas, terlalu asam, gangguan psikis,
gangguan syaraf, hawa dingin, alergi. Definisi imun yaitu kekurangan imun
terutama IgA yang mengakibatkan terjadinya berlipat gandanya bakteri dan jamur.
3.2.2
Diare osmotik yaitu malabsorbsi makanan, kekurangan
kalori protein dan berat badan lahir rendah
4. Gejala
Klinis
Gejala klinis pada
penderita diare adalah:
4.1 Buang air besar/BAB
encer atau cair lebih dari tiga kali sehari
4.2 Dapat disertai muntah-muntah dan demam
4.3 Bila pasien telah banyak kehilangan cairan
dan elektrolit maka akan timbul gejala dehidrasi sebagai berikut: berat badan
turun, turgor kulit berkurang, mata dan ubun-ubun menjadi cekung, serta selaput
lendir dan bibir, mulut serta kulit tampak kering (Depkes RI, 2008).
Timbulnya penyakit
diare dapat terjadi perlahan-lahan dan tidak diketahui, atau terjadi demam
mendadak, gejalanya sering dimulai dengan malas minum, nafsu makan berkurang,
kemudian diikuti oleh muntah dan diare. Mula-mula tinja cair berwarna kuning
dan encer kemudian berubah menjadi hijau berlendir, berair dan frekuensinya
malah bertambah (Noer, 2009).
Gejala penyakit
diare berbeda-beda mulai dari ringan sampai berat, namun tidak dapat untuk
membedakannya kecuali pada insektisida dari mulut pasien. Pada umumnya adalah
berak-berak encer, muntah-muntah, nyeri perut dan mules, muka dan mata cekung,
pada bayi ubun-ubun besar kelihatan cekung, jari tangan atau kaki agak kejang,
nadi cepat, tekanan darah menurun dan akhirnya shock (Depkes RI, 2013).
5.
Patogenesis
Patogenesis adalah
mekanisme yang menyatakan perkembangan suatu penyakit. Patogenesis pada
penyakit diare meliputi:
5.1 Patogenesis diare akut. Masuknya jasad renik
yang masih hidup ke dalam usus halus setelah berhasil melewati rintangan asam
lambung. Jasad renik tersebut berkembang biak ke dalam usus halus dan
mengeluarkan toxin. Akibat toxin tersebut terjadi hipersekresi yang selanjutnya
akan menimbulkan diare.
5.2 Patogenesis diare kronik. Salah satu faktor
yang menyebabkan diare kronik adalah faktor malabsorbsi yakni akibat
terdapatnya makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan menyebabkan tekanan
osmotik dalam rongga usus meningkat. Peningkatan tekanan tersebut menyebabkan
terjadinya pergeseran air elektrolit dalam rongga usus, sehingga timbul diare
(Depkes RI, 2008).
6. Patofisiologis
Patofisiologis
adalah perubahan-perubahan biologi yang mempengaruhi keseimbangan dinamik tubuh
atau homoestatis yang diubah oleh penyakit pada organisme hidup (Silvia, 2010).
Patofisiologis sebagai akibat diare akut maupun kronis akan terjadi:
6.1 Kehilangan air dan elektrolit yang
mengakibatkan gangguan keseimbangan cairan.
6.2 Gangguan gizi sebagai akibat kelaparan karena
masukan makanan kurang dan pengeluaran bertambah.
6.3 Hipoglikemi yaitu penurunan kadar glukosa
dalam darah.
6.4 Gangguan sirkulasi darah.
7.
Epidemiologi Diare
Penyebaran kuman penyakit diare biasanya melalui oral
antara lain melalui makanan dan minuman yang tercemar tinja dan atau kontak
langsung dengan tinja penderita. Beberapa yang dapat menyebabkan penyebaran
kuman enteric dan peningkatan rasio terjadinya diare (Silvia, 2010).
Faktor penjamu yang dapat meningkatkan kerentangan
terhadap diare yaitu kurang gizi, beratnya penyakit lama dari resiko kematian
karena diare meningkat pada anak-anak yang menderita gangguan gizi terutama
pada penderita gizi buruk. Penyakit diare merupakan salah satu penyakit
berbasis lingkungan. Dua faktor yang dominan yaitu sarana air bersih dan
pembuangan tinja. Kedua faktor ini akan berinteraksi dengan perilaku manusia
yang tidak sehat pula yang melalui makanan dan minuman, maka dapat menimbulkan
kejadian penyakit diare (Depkes RI, 2008).
8. Komplikasi
Komplikasi adalah akibat yang dapat timbul bila penderita
tidak ditangani dengan tepat. Komplikasi yang dapat timbul pada anak yang
menderita diare yakni dehidrasi atau kehilangan cairan tubuh yang berlebihan,
shok hipovolemik akibat berkurangnya plasma dalam darah, hipokalemia yaitu
konsentrasi kalium yang rendah dalam darah disebabkan oleh sekresi renal oleh
jalur intestinasl akibat muntah dan diare, kejang, terutama dalam dehidrasi
berat, dan malnutrisi energi protein karena selain diare dan muntah penderita
juga mengalami kelaparan (Nursalam, 2008).
9.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan diare menurut Nursalam (2008) antara
lain:
9.1 Diare tanpa dehidrasi
(Rencana terapi A)
9.1.1
Berikan cairan tambahan sebanyak anak mau. Saat
berobat, orang tua perlu diberi oralit beberapa bungkus untuk diberikan di
rumah. Juga perlu diberikan penjelasan mengenai
pemberian ASI yang lebih lama pada setiap kali pemberian, pemberian
oralit atau air matang sebagai tambahan, pemberian cairan seperti: oralit, kuah
sayur, air tajin, air matang, dan mengajarkan cara membuat oralit di rumah
yakni 1 bungkus oralit dimasukkan dalam 200 ml (1 gelas) air matang, usia
sampai 1 tahun berikan 50-100 ml oralit setiap habis berak dan berikan oralit
sedikit demi sedikit dengan sendok. Apabila muntah tunggu 10 menit, lalu
berikan lagi.
9.1.2
Lanjutkan pembagian makan sesuai usianya.
9.1.3
Apabila keadaan anak tidak membaik dalam 5 hari,
anjurkan agar anak dibawa ke Rumah Sakit. Selama perjalanan, oralit tetap
diberikan (Nursalam, 2008).
9.2 Diare dengan dehidrasi
ringan/sedang (Rencana terapi B)
9.2.1
Berikan oralit dan observasi di klinik selama 3 jam
dengan jumlah sekitar 75 ml/kg BB. Pemberian oralit pada bayi sebaiknya dengan
menggunakan sendok. Adapun jumlah pemberian oralit berdasarkan BB dalam 3 jam
pertama adalah: Untuk umur 4 bulan dengan berat badan kurang dari 6 kg sebanyak
200 – 400 ml; untuk umur 4-12 bulan dengan berat badan 6 – 10 kg sebanyak 400 –
700 ml; untuk umur 12 - 24 bulan dengan berat badan 10 - 12 kg sebanyak 700 –
900 ml; dan untuk umur 2 – 5 tahun dengan berat badan 12 - 19 kg sebanyak 900 –
400 ml.
9.2.2
Lakukan penilaian setelah anak diobservasi 3 jam. Apabila membaik,
pemberian oralit dapat diteruskan. Apabila memburuk, segera pasang infus dan
rujuk ke RS untuk mendapatkan penanganan segera (Nursalam, 2008).
9.3 Diare dengan dehidrasi berat (Rencana terapi
C)
9.3.1
Jika anak menderita penyakit perut lainnya segera
rujuk. Selama dalam perjalanan, mintalah ibu untuk terus memberikan oralit dan
ASI.
9.3.2
Jika tidak ada penyakit berat lainnya, diperlukan
tindakan sebagai berikut: memasang infus dan segera berikan RL atau NaCl
secepatnya secara intravena sebanyak 100 ml/kgBB; jika tidak dapat memasang
infus tetapi dapat memasang sonde, berikan oralit melalui NGT dengan jumlah 20
ml/kgBB/jam selama 6 jam; jika tidak dapat memasang infus dan sonde rujuk
segera, berikan oralit terus menerus dalam perjalanan (Nursalam, 2008)
B. Tinjauan Tentang Anak Balita
Anak Balita adalah anak yang telah menginjak usia di atas
satu tahun atau lebih popular dengan pengertian usia anak di bawah lima tahun
(Muaris.H, 2009). Menurut Sutomo dkk,
(2010), Balita adalah istilah umum bagi anak usia 1-3 tahun (Batita) dan anak
prasekolah (3-5 tahun). Saat usia Batita, anak masih tergantung penuh kepada orang
tua untuk melakukan kegiatan penting, seperti mandi, buang air dan makan.
Anak Balita merupakan kelompok yang menunjukkan
pertumbuhan yang pesat sehingga memerlukan zat gizi yang tinggi setiap kilogram berat badannya. Anak
Balita ini justru merupakan kelompok umur yang paling sering menderita akibat
kekurangan zat gizi karena masih dalam taraf perkembangan dan kualitas hidup
anak sangat tergantung pada orang tuanya (Sediaoetama, 2008).
Perkembangan berbicara dan berjalan sudah bertambah baik.
Namun kemampuan lain
masih terbatas. Masa Balita merupakan periode penting dalam proses tumbuh
kembang manusia. Perkembangan dan pertumbuhan di masa itu menjadi penentu
keberhasilan pertumbuhan dan perkembangan anak di periode selanjutnya. Masa
tumbuh kembang di usia ini merupakan masa yang berlangsung cepat dan tidak akan
pernah terulang, karena itu sering disebut golden age atau masa keemasan.
Menurut karakteristik, Balita terbagi dalam dua kategori
yaitu anak usia 1 – 3 tahun (Batita) dan anak usia prasekolah
(Uripi, 2008). Anak usia 1-3 tahun merupakan konsumen pasif, artinya anak
menerima makanan dari apa yang disediakan ibunya. Laju pertumbuhan masa Batita
lebih besar dari masa usia pra-sekolah sehingga diperlukan jumlah makanan yang
relatif besar. Namun perut yang masih lebih kecil menyebabkan jumlah makanan
yang mampu diterimanya dalam sekali makan lebih kecil dari anak yang usianya
lebih besar. Oleh karena itu, pola makan yang diberikan adalah porsi kecil
dengan frekuensi sering.
Pada usia pra-sekolah anak menjadi konsumen aktif. Mereka
sudah dapat memilih makanan yang disukainya. Pada usia ini anak mulai bergaul
dengan lingkungannya atau bersekolah playgroup sehingga anak mengalami beberapa
perubahan dalam perilaku. Pada masa ini anak akan mencapai fase gemar memprotes
sehingga mereka akan mengatakan “tidak” terhadap setiap ajakan. Pada masa ini
berat badan anak cenderung mengalami penurunan, akibat dari aktivitas yang
mulai banyak dan pemilihan maupun penolakan terhadap makanan. Diperkirakan pula bahwa anak perempuan
relatif lebih banyak mengalami gangguan status gizi bila dibandingkan dengan
anak laki-laki.
Secara umum tumbuh kembang setiap anak berbeda-beda,
namun prosesnya senantiasa melalui tiga pola yang sama, yakni:
1.
Pertumbuhan dimulai dari tubuh bagian atas menuju
bagian bawah (sefalokaudal).
Pertumbuhannya dimulai dari kepala hingga ke ujung kaki, anak akan berusaha menegakkan tubuhnya,
lalu dilanjutkan belajar menggunakan kakinya.
2.
Perkembangan dimulai dari batang tubuh ke arah
luar.
Contohnya adalah anak akan lebih dulu menguasai
penggunaan telapak tangan untuk menggenggam, sebelum ia mampu meraih benda
dengan jemarinya.
3.
Setelah dua pola di atas dikuasai, barulah anak
belajar mengeksplorasi keterampilan-keterampilan lain. Seperti melempar,
menendang, berlari dan lain-lain.
Pertumbuhan pada bayi dan Balita merupakan gejala
kuantitatif. Pada konteks ini, berlangsung perubahan ukuran dan jumlah sel,
serta jaringan intraseluler pada tubuh anak. Dengan kata lain, berlangsung
proses multiplikasi organ tubuh anak, disertai penambahan ukuran-ukuran
tubuhnya. Hal ini ditandai oleh:
1.
Meningkatnya berat badan dan tinggi badan.
2.
Bertambahnya ukuran lingkar kepala.
3.
Muncul dan bertambahnya gigi dan geraham.
4.
Menguatnya tulang dan membesarnya otot-otot.
5.
Bertambahnya organ-organ tubuh lainnya, seperti
rambut, kuku, dan sebagainya.
Penambahan ukuran-ukuran tubuh ini tentu tidak harus
drastis. Sebaliknya, berlangsung perlahan, bertahap, dan terpola secara
proporsional pada tiap bulannya. Ketika didapati penambahan ukuran tubuhnya,
artinya proses pertumbuhannya berlangsung baik. Sebaliknya jika yang terlihat
gejala penurunan ukuran, itu sinyal terjadinya gangguan atau hambatan proses
pertumbuhan.
Cara mudah mengetahui baik tidaknya pertumbuhan bayi dan
Balita adalah dengan mengamati grafik pertambahan berat dan tinggi badan yang
terdapat pada Kartu Menuju Sehat (KMS). Dengan bertambahnya usia anak, harusnya
bertambah pula berat dan tinggi badannya. Cara lainnya yaitu dengan pemantauan
status gizi. Pemantauan status gizi pada bayi dan Balita telah dibuatkan
standarisasinya oleh Harvard University (USA). Penggunaan standar
tersebut di Indonesia telah dimodifikasi agar sesuai untuk kasus anak
Indonesia. Perkembangan pada masa Balita merupakan gejala kualitatif, artinya
pada diri Balita berlangsung proses peningkatan dan pematangan (maturasi)
kemampuan personal dan kemampuan sosial.
1.
Kemampuan personal ditandai pendayagunaan segenap
fungsi alat-alat pengindraan dan sistem organ tubuh lain yang dimilikinya. Kemampuan fungsi
pengindraan meliputi: Penglihatan,
misalnya melihat, melirik, menonton, membaca dan lain-lain. Pendengaran, misalnya reaksi mendengarkan bunyi,
menyimak pembicaraan dan lain-lain. Penciuman, misalnya mencium dan membau sesuatu. Peraba, misalnya reaksi
saat menyentuh atau disentuh, meraba benda, dan lain-lain. Pengecap, misalnya
menghisap ASI, mengetahui rasa makanan dan minuman.
2. Kemampuan sosial.
Kemampuan sosial (sosialisasi), sebenarnya efek dari
kemampuan personal yang makin meningkat. Dari situ lalu dihadapkan dengan
beragam aspek lingkungan sekitar, yang membuatnya secara sadar berinteraksi
dengan lingkungan itu. Sebagai contoh pada anak yang telah berusia satu tahun
dan mampu berjalan, dia akan senang jika diajak bermain dengan anak-anak
lainnya, meskipun ia belum pandai dalam berbicara, ia akan merasa senang
berkumpul dengan anak-anak tersebut. Dari sinilah dunia sosialisasi pada
lingkungan yang lebih luas sedang dipupuk, dengan berusaha mengenal
teman-temanya itu.
Beberapa kondisi dan anggapan orang tua dan masyarakat
justru merugikan penyediaan makanan bagi kelompok Balita salah satunya yaitu
anak Balita masih belum dapat mengurus sendiri dengan baik, dan belum dapat
berusaha mendapatkan sendiri apa yang diperlukannya untuk makanannya dan
walaupun tidak mencukupi, sering tidak diberi kesempatan untuk minta lagi atau
mengambil sendiri tambahannya.
C. Tinjauan Tentang Pengetahuan
1. Pengertian Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2012), bahwa pengetahuan adalah
merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan
terhadap suatu objek tertentu. Sedangkan menurut Mubarak dkk. (2008), bahwa
penginderaan terjadi melalui panca indera, penglihatan, pendengaran, penciuman,
rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan merupakan hal yang sangat utuh
terbentuknya tindakan seseorang (over beharvior). Karena dalam penelitian
ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada
perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan.
2.
Tingkatan Pengetahuan
Selanjutnya
menurut Notoatmodjo (2012), bahwa pengetahuan yang mencakup dalam domain
kognitif mempunyai 6 tingkatan yaitu:
2.1
Tahu
(know)
Tahu
diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya,
mengingat kembali termasuk (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh
bagian atau rangsangan yang telah diterima.
2.2
Memahami
(Comprehension)
Memahami
diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang
diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara luas.
2.3
Aplikasi
(Aplication)
Aplikasi
diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada
situasi atau kondisi nyata.
2.4
Analisis
(analysis)
Analisis
adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam
komponen-komponen, tetapi masih di dalam struktur organisasi tersebut dan masih
ada kaitan satu sama lain.
2.5 Sintesis (synthesis)
Sintesis
menunjukkan pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan
bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
2.6
Evaluasi
(evaluation)
Evaluasi
ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifisikasi atau penilaian
terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu
kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah
ada (Notoatmodjo, 2012).
Oleh
karena itu pengetahuan/kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk
terbentuknya tindakan seseorang (overt
behavior). Karena dari pengalaman dan penelitian ternyata tindakan atau
perilaku didasari oleh pengetahuan jauh lebih langgeng dibandingkan yang tidak
didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2012).
3.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo
(2012), ada beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang yaitu:
3.1 Pendidikan
Pendidikan adalah
suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian, kemampuan di dalam dan di luar
sekolah dan berlansung seumur hidup. Makin tinggi pendidikan seseorang makin
mudah seseorang tersebut menerima informasi. Dengan pendidikan tinggi maka
seseorang tersebut menerima informasi baik dari orang lain maupun dari media
massa, semakin banyak informasi yang masuk semakin banyak pula pengetahuan
seseorang tentang kesehatan.
3.2 Pengalaman
Menurut Jones dan
Back menjelaskan bahwa pengalaman belajar bekerja yang berkembang memberikan
pengetahuan dan ketrampilan professional serta pengalaman belajar selama
bekerja akan dapat mengembangkan kemampuan mengambil keputusan yang merupakan
manifestasi dan keterpaduan menalar secara ilmiah dan etik yang bertolak dari
masalah nyata dalam bidang keperawatan.
3.3 Umur
Dua sikap
tradisional mengenai jalanya perkembangan selama hidup semakin tua semakin
bijaksana, semakin banyak informasi yang dijumpai dan semakin banyak hal yang
dikerjakan sehingga menambah pengetahuannya.
4. Cara Memperoleh Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo
(2012), ada beberapa cara untuk memperoleh pengetahuan, yaitu:
4.1 Cara Coba-Salah (Trial and Error)
Cara coba-coba ini dilakukan dengan menggunakan
kemungkinan dalam memecahkan masalah, dan apabila kemungkinan tersebut tidak
berhasil, dicoba kemungkinan yang lain. Apabila kemungkinan kedua ini gagal
pula, maka dicoba dengan kemungkinan ketiga, dan apabila kemungkinan ketiga
gagal dicoba kemungkinan keempat dan seterusnya, sampai masalah tersebut dapat
dipecahkan. Itulah sebabnya maka cara ini disebut metode trial (coba) dan error
(gagal atau salah) atau metode coba-salah/coba-coba.
4.2 Cara Kekuasaan atau Otoritas
Dalam kehidupan manusia sehari-hari, banyak sekali
kebiasaan-kebiasaan dan tradisi-tradisi yang dilakukan oleh orang, tanpa
melalui penalaran apakah yang dilakukan tersebut baik atau tidak.
Kebiasaan-kebiasaan ini biasanya diwariskan turun temurun dari generasi
kegenerasi berikutnya. Dengan kata lain, pengetahuan tersebut diperoleh
berdasarkan pada otoritas atau kekuasaan, baik tradisi, otoritas pemerintah,
otoritas pemimpin agama, maupun ahli-ahli ilmu pengetahuan.
Prinsip ini adalah, orang lain menerima pendapat yang
dikemukakan oleh orang yang mempunyai otoritas, tanpa terlebih dahulu menguji
atau membuktikan kebenarannya, baik berdasarkan fakta empiris, ataupun
berdasarkan penalaran sendiri. Hal ini disebabkan karena orang yang menerima
pendapat tersebut menganggap bahwa yang dikemukakannya adalah benar.
4.3 Berdasarkan Pengalaman Pribadi
Pengalaman adalah guru yang baik, dimana pepatah ini
mengandung maksud bahwa pengalaman itu merupakan sumber pengetahuan, atau
pengalaman itu merupakan suatu cara untuk memperoleh pengetahuan.
4.4 Melalui Jalan Pikiran
Sejalan dengan perkembangan umat manusia, cara berpikir
manusia pun ikut berkembang. Dari sini manusia telah mampu menggunakan
penalarannya dalam memperoleh pengetahuannya. Dengan kata lain, dalam
memperoleh kebenaran pengetahuan manusia telah menggunakan jalan pikirannya,
baik melalui induksi maupun deduksi.
4.5 Cara Modern dalam Memperoleh Pengetahuan
Cara baru dalam memperoleh pengetahuan pada dewasa ini
lebih sistematis, logis, dan ilmiah. Cara ini disebut metodologi penelitian
ilmiah.
5.
Hubungan Pengetahuan Dengan Diare
Pengetahuan adalah sesuatu yang diketahui berkenaan
dengan hal (mata pelajaran). Pengetahuan merupakan pengakuan hubungan suatu
terhadap sesuatu yang lain. Pengakuan itu dalam bentuk kepuasan yang disebut
pengetahuan. Tingkat pengetahuan lebih bersifat pengenalan terhadap sesuatu
benda atau hal secara obyektif. Tingkatan pengetahuan atau kognitif merupakan
domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (Notoatmodjo,
2012). Pengetahuan mengenai diare meningkat namun di bidang terapi kemajuannya
lamban. Kurang banyak yang dilakukan untuk mempengaruhi perjalanan diare bila
sudah terjadi. Tahap pengetahuan tentang pencegahan merupakan andalan
utama memerangi diare (Lumbantobing, 2010). Pemahaman akan faktor risiko diare,
dan pengendalian akan faktor risiko diare mutlak diperlukan untuk pencegahan
diare.
Pengetahuan ibu dalam kategori baik dapat dijelaskan
karena baiknya pengetahuan ibu tentang diare karena ibu cukup mendapatkan
informasi tentang penyakit diare dan hal-hal yang berhubungan dengan pencegahan
diare. Oleh karena itu, sangat penting diadakan sosialisasi mengenai pencegahan
penyakit diare berupa penyuluhan sehingga ibu dapat mengetahui tentang
penanganan dan pencegahan penyakit diare. Informasi pula dapat diperoleh dari
berbagai sumber seperti televisi dan sumber informasi lainnya. Sedangkan
rendahnya pengetahuan ibu dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu derajat
penyuluhan, dan tingkat pendidikan. Namun hal ini tidak mutlak karena
pengetahuan tersebut dapat diperoleh seseorang dari berbagai macam sumber
informasi, misalnya media massa, media elektronik, buku, petugas kesehatan,
kerabat dekat dan sebagainya. Pengetahuan ini dapat membentuk keyakinan
tertentu sehingga seseorang berperilaku sesuai keyakinan tersebut.
Kurangnya pengetahuan ibu akan mempengaruhi ibu anak
Balita untuk dapat mengatasi kekambuhan atau melakukan pencegahan agar tidak
terjadi komplikasi. Pencegahan lebih baik dari pada pengobatan, demikian juga
dengan diare pada Balita. Sebenarnya sangat sederhana dan tidak memerlukan
biaya, hanya diperlukan disiplin dan ketekunan menjalankan aturan hidup sehat,
sabar dan ikhlas dalam melaksanakan pola hidup bersih dan sehat.
D. Tinjauan Tentang Personal Hygiene
1. Pengertian
Personal
hygiene berasal dari bahasa Yunani yang berarti personal yang artinya
perorangan dan hygiene berarti sehat. Personal hygiene adalah suatu tindakan
untuk memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik
dan psikis (Depkes RI, 2010). Menurut Santrock WJ, (2008), perawatan diri atau
kebersihan diri (personal hygiene) merupakan perawatan diri sendiri yang
dilakukan untuk mempertahankan kesehatan, baik secara fisik maupun psikologis.
Menurut
Ananto (2008), memeilihara kebersihan dan kesehatan pribadi adalah salah satu
upaya pendidikan kesehatan yang diberikan kepada peserta didik di sekolah atau
madrasah dan di rumah. Melalui peningkatan kebersihan dan kesehatan pribadi,
kesehatannya akan menjadi lebih baik.
Personal
hygiene adalah cara perawatan diri manusia untuk memelihara kesehatan mereka.
Pemeliharaan hygiene perorangan diperlukan untuk kenyamanan individu,
keamanaan, dan kesehatan. Praktek hygiene sama dengan meningkatkan kesehatan
(Potter dan Perry, 2009).
Personal
hygiene adalah salah satu kemampuan dasar manusia dalam memenuhi kebutuhannya
guna mempertahankan kehidupannya, kesehatan dan kesejahteraan sesuai dengan
kondisi kesehatannya, klien dinyatakan terganggu keperawatan dirinya jika tidak
dapat melakukan perawatan diri (Direja, 2011). Perawatan diri atau kebersihan diri (personal hygiene) merupakan
perawatan diri sendiri yang dilakukan untuk mempertahankan kesehatan, baik
secara fisik maupun psikologis (Hariza A, 2011).
2. Tujuan Personal Hygiene
Tujuan personal
hygiene adalah menghilangkan minyak
yang menumpuk, keringat, sel-sel kulit yang mati dan bakteri, menghilangkan bau
badan yang berlebihan. Memelihara integritas permukaan kulit, memberikan
kesempatan pada perawatan untuk mengkaji kulit pasien.
3. Manfaat Personal Hygiene
Menjaga kebersihan
bukan hanya untuk terlihat bagus dan menarik tetapi juga untuk menjaga
kesehatan kita serta mencegah timbulnya penyakit seperti diare dan kudis
(gatal-gatal/penyakit kulit) misalnya:
3.1 Mencuci Tangan
Mencuci tangan
penting untuk menjaga kebersihan tangan, cuci tangan dengan banyak air bersih
dan sabun akan menghilangkan kuman, juga kebersihan kuku dan potong pendek.
3.2 Makanan
Memasak makanan sampai matang untuk membunuh kuman-kuman.
Cuci tangan sebelum memasak dan sebelum makan.
3.3 Pakaian
Mencuci pakaian secara teratur dengan sabun dan keringkan
di sinar matahari.
3.4 Tempat tinggal
Penting untuk menaruh sampah di tong sampah yang
tertutup, jauh dari rumah, pakai jamban untuk buang air besar dan kecil.
4.
Jenis-Jenis Personal Hygiene
Menurut Wartonah (2008), jenis-jenis personal hygiene
antara lain:
4.1 Perawatan Diri pada
Kulit
Kulit merupakan salah satu bagian penting dari tubuh yang
dapat melindungi tubuh dari berbagai kuman atau trauma, sehingga diperlukan
perawatan yang adekuat (cukup) dalam mempertahankan fungsinya. Kulit secara
umum mempunyai berbagai fungsi, diantaranya:
4.1.1
Melindungi tubuh dari masuknya berbagai kuman atau
trauma jaringan bagian dalam yang juga dapat menjaga keutuhan kulit.
4.1.2
Mengatur keseimbangan suhu tubuh dan membantu
produksi keringat serta penguapan.
4.1.3
Sebagai alat peraba yang dapat membantu tubuh
menerima rangsangan dari luar melalui rasa sakit, sentuhan, tekanan, atau suhu.
4.1.4
Sebagai alat ekskresi keringat melalui pengeluaran
air, garam, dan nitrogen.
4.1.5
Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit yang
bertugas mencegah pengeluaran cairan tubuh secara berlebihan.
4.1.6
Memproduksi dan menyerap vitamin D sebagai
penghubung atau pemberi vitamin D dari sinar ultraviolet matahari (Hidayat,
2008).
Yang dapat dilakukan untuk perawatan kulit yaitu dengan
melakukan mandi. Mandi bermanfaat untuk menghilangkan atau membersihkan bau
badan, keringat dan sel yang mati, serta merangsang sirkulasi darah, dan
membuat rasa nyaman. Mandi menggunakan sabun mandi secara rutin minimal 2 kali
sehari (bila perlu lakukan lebih sering bila kerja di tempat kotor atau banyak berkeringat). Hindari penggunaan
pakaian, handuk, selimut, sabun mandi, dan sarung secara berjamaah. Hindari
penggunaan pakaian yang lembab/basah (karena keringat/sebab lain). Gunakan obat
anti jamur kulit (bila perlu) (Hidayat, 2008).
Mengganti pakaian dengan teratur. Minimal 1x sehari atau
setelah mandi. Biasakan mengganti pakaian sesampainya di rumah setelah pulang
sekolah atau bepergian karena pakaian dan keringat akan menempel pada pakaian
setelah di pakai beraktivitas (Hidayat, 2008).
Kondisi kulit tergantung pada praktek hygiene dan paparan
iritan lingkungan, sejalan dengan usia, kulit kehilangan layak kenyal di
kelembaban. Pada kelenjar sebasea dan keringat menjadi kurang aktif. Epitalium
menipis dan serabut kolagen elastis, menyusut, sehingga kulit mudah pecah. Perubahan
ini merupakan peringatan ketika bergerak dan mengatur posisi pada manusia.
Tujuan dari memberikan kulit dengan mandi yaitu membersihkan kulit, stimulasi
sirkulasi, citra diri, pengurangan bau badan dan peningkatan rentang gerak
(Direja, 2011).
Faktor ini memegang peranan penting dalam memelihara
kulit, kulit bayi mudah terluka dan terkena infeksi, mereka harus melakukan dan
dimandikan dengan hati-hati mencegah luka. Pada usia aqil baliq (remaja) kulit
hendaknya dibersihkan dengan rapi dan jangan sampai ada rasa perih untuk
membantu mencegah terjadinya peradangan kulit selama aqil baliq sampai
kira-kira umur 50 tahun buangan dari kelenjar kulit mencapai maksimum karena
itu perlu sering mandi agar badan tidak bau dan jangan sampai penuh daki dan kotoran
(Direja, 2011).
Bertambahnya usia, membuat kulit makin tipis kurang
elastis dan lemas, mulai muncul keriput yang sebagian besar terjadi di dalam
dermis karena berkurangnya minyak yang keluar dari kelenjar sebacius, kulit
menjadi kusam, bersisik, dan nampak kasar namun perubahan kulit karena usia dan
alamiah. Pada kenyataannya banyak cara untuk membersihkan kulit,
namun cara yang paling banyak adalah dipakai untuk membersihkan kulit adalah
dengan sabun/detergen dan air, banyak jenis sabun yang beredar di pasaran dan
di iklankan dengan begitu menarik. Anak kecil atau orang-orang lanjut usia
memerlukan bantuan khusus untuk memilih sabun/detergen yang cocok, karena kulit
mereka lebih muda terluka dan terasa perih, walaupun ia bukan lanjut usia jika
kulitnya kering ia bisa memakai krim (Hidayat, 2008).
4.2 Perawatan Diri pada
Kuku, Kaki dan Tangan
Kuku adalah struktur pelengkap kulit, kuku terdiri atas
jaringan epithelial. Badan kuku adalah bagian dari yang tampak luar, akarnya
terletak dalam kulit dalam lekat (alur) dimana kuku tumbuh dan mendapat
makanan, kuku sehat berwarna merah muda dan cembung serta garis lengkungnya
rata (Hidayat, 2008).
Kuku jari tangan dapat di potong dengan mengikirnya atau
dengan batu oval (bujur), memotong kuku jangan sampai terlalu pendek karena
dapat melukai kulit selaput dan kulit sekitar kuku. Sewaktu memotong kuku
hendaknya direndam terlebih dahulu karena akan memidahkan dalam pemotongan dan
mengurangi resiko cidera (Direja, 2011).
Kuku juga sering kali memerlukan perawatan khusus untuk
mencegah infeksi, bau dan cidera pada jaringan. Perawatan dapat digabungkan
pada saat mandi atau pada waktu yang terpisah. Masalah yang timbul bukan karena
perawatan yang salah atau kurang terhadap kaki dan tangan seperti menggigit
kuku atau memotong yang tidak tepat. Pemaparan dengan zat-zat kimia yang tajam
dan rangkaian sepatu yang tidak pas, ketidak nyamanan dapat berpengaruh pada
stress fisik dan emosional (Potter & Perry, 2009).
Menjaga kebersihan kuku merupakan salah satu aspek
penting dalam mempertahankan perawatan diri karena kuman dapat masuk ke dalam
tubuh melalui kuku (Hidayat, 2008). Oleh karena itu, Potong kuku 1x/mg atau
saat terlihat panjang (gunakan pemotong kuku dan setelah dipotong ujung kuku
dihaluskan/dikikir) (Direja, 2011). Masalah kuku kaki dan tangan sampai terjadi
nyeri atau ketidaknyamanan dihasilkan karena perawatan yang salah atau kurang
terhadap kaki dan tangan, seperti menggigit kuku dan pemotongan yang tidak
tepat dan pemakaian sepatu yang tidak pas (Potter & Perry, 2009).
Bersihkan tangan
dan kaki sehari minimal 2x/hr atau setiap kotor. Mencuci tangan menggunakan
sabun dan air bersih mengalir. Sabun dapat membersihkan kotoran dan membunuh
kuman, karena tanpa sabun, kotoran dan kuman masih tertinggal di tangan. Oleh
karena itu, biasakan cuci tangan dengan air bersih yang mengalir dan memakai
sabun agar tangan bersih dan sehat. Saat harus cuci tangan yaitu setiap tangan
kita kotor (setelah memegang uang, memegang binatang, berkebun), setelah buang
air besar atau buang air kecil, sebelum makan dan sebelum memegang makanan
(Direja, 2011).
Untuk menjaga kebersihan dan kesehatan pada kaki, gunakan
alas kaki yang lembut, aman, dan nyaman. Jenis alas kaki yang dipakai dapat
mempengaruhi maslah kaki dan kuku. Sepatu yang sempit atau kurang pas dapat
mnyebabkan luka kulit tertentu dan mengganggu sirkulasi kaki. Menjaga
kebersihan sepatu itu juga sangat penting. Begitu kaki berkeringat, keringatnya
akan menempel ke sepatunya, sehingga menjadi tempat tumbuhnya bakteri yang bisa
menyebabkan penyakit-penyakit di kaki. Segera setelah pulang sekolah dan tiba di rumah, bukalah
sepatunya terlebih dahulu. Kemudian untuk menjaga sepatunya tetap bersih dengan
cara mencuci, menyikat, dan menyemirnya. Usai beraktivitas ajarkan anak untuk
mencuci kakinya dan mengeringkannya dengan baik. Cuci kaki dengan baik ketika
mandi atau sebelum pergi tidur. Keringkan dengan baik menggunakan handuk bersih
(Direja, 2011).
4.3 Perawatan pada Rambut
Rambut merupakan bagian dari tubuh yang memiliki fungsi
sebagai proteksi serta pengatur suhu, melalui rambut perubahan status kesehatan
diri dapat diidentifikasi (Hidayat, 2008).
Rambut yang bersih tak hanya menghindarkan aroma tak
sedap, tetapi juga menghindari gangguan pada kulit kepala seperti ketombe,
mudah rontok atau bahkan kutu rambut. Rambut barmanfaat mencegah infeksi daerah
kepala. Kebersihan rambut bisa membantu melancarkan sirkulasi darah pada kulit
kepala. Rambut yang bersih juga membantu mengurangi stres dan membantu jaringan
metabolisme agar tetap tumbuh dan berkembang secara normal. Kutu rambut pun
tidak diberi kesempatan untuk hidup. Karena itu, ajarkan anak untuk keramas
secara teratur minimal membersihkan rambut dua kali dalam seminggu, atau
setelah berolah raga atau banyak mengeluarkan keringat, keramas dengan
menggunakan shampoo, agar kebersihan rambut dan kulit kepala terjaga. Samphoo
berfungsi membersihkan rambut juga untuk memberikan beberapa vitamin bagi
rambut sehingga rambut subur dan berkilau. Selain itu untuk menjaga kebersihan
rambut jangan lupa juga menjaga kebersihan sisir yang dipakai. Membersihkan
sisir bisa bersamaaan saat kita keramas (Direja, 2011).
Penyisiran pada rambut juga sangat penting, karena dapat
mencegah rambut menjadi kusut dan dapat membentuk gaya rambut. Rambut dan kulit
kepala mempunyai kecenderungan kering, maka diperlukan penyisiran sehari-hari
agar tidak kusut (Potter & Perry, 2009).
Rambut merupakan struktur kulit, biasanya rambut
mengkilap, tapi tidak berminyak secara berlebihan, kering ataupun rapuh.
Kesehatan yang baik secara menyeluruh penting artinya bagi rambut yang menarik
dan seperti halnya kulit. Kebersihan membantu kita utuk memelihara badan supaya
menarik, sisir digunakan untuk mengatur rambut tidak sama dengan manfaatnya
sikat, sisir yang digunakan janganlah yang tajam karena dapat melukai kulit
kepala (Direja, 2011).
Penampilan dan kesejahteraan seseorang sering kali tergantung
dari cara penampilan dan perasaan mengenai rambutnya. Penyakit atau ketidak
mampuan mencegah seseorang untuk memelihara perawatan rambut sehari-hari.
Menyikat, menyisir dan bersampo adalah cara-cara dasar hygienes untuk semua
usia. Pertumbuhan distribusi rambut dapat menjadi indikator status kesehatan
umum, perubahan hormonal, stress emosional maupun fisik, penuaan, infeksi dan
penyakit tertentu atau obat-obatan dapat mempengaruhi karakteristik rambut.
Rambut normal adalah bersih, bercahaya dan tidak kusut, untuk kulit kepala
harus bebas dari lesi kehilangan disebabkan karena praktik keperawatan yang
tidak tepat atau penggunaan medikasi kemampuan terapi (Fizari, S., 2009)
4.4 Kebersihan Mulut Dan Gigi
Kesehatan umum yang baik sama pentingnya dengan kebersihan
untuk memelihara mulut dan gigi yang sehat, misalnya hubungan antara gigi yang
baik dan cukup makanan yang mengandung kalsium dan fospor disamping vitamin D
yang perlu bagi tubuh.
Hygiene mulut membantu mempertahankan status kesehatan
mulut, gigi, gusi, dan bibir. Hygiene mulut yang lengkap memberikan rasa sehat
dan selanjutnya menstimulasi nafsu makan. Menusuk membersihkan gigi dari
partikel-partikel makanan, plak, dan bakteri, memasase gusi dan mengurangi
ketidak nyamanan yang dihasilkan dari bau dan rasa yang tidak nyaman (Potter
& Perry, 2009).
Masalah yang besar adalah karies gigi (lubang) dan
penyakit periodontal. Karies gigi merupakan masalah mulut paling umum,
perkembangan lubang merupakan proses patologi yang melibatkan kerusakan email
gigi pada akhirnya melalui kekurangan kalsium. Kesehatan dan kebersihan mulut
pula penting artinya bagi orang yang bergigi palsu. Mulut harus dibersihkan
sesering mungkin sesuai dengan petunjuk kesehatan dan kebersihan (Murti, S.
2012).
Gigi dan mulut adalah bagian penting yang harus
dipertahankan kebersihannya, sebab melalui organ ini berbagai kuman dapat
masuk. Tujuan dari menjaga kebersihan mulut dan gigi adalah supaya gigi bersih
dan tidak berlubang, mulut tidak berbau, lidah bersih, gusi tidak bengkak, bibir
tidak pecah-pecah. Sehingga menyikat gigi bertujuan untuk menghilangkan plak
yang dapat menyebabkan gigi berlubang (caries) dan menyebabkan sakit gigi
(Hidayat, 2008).
Pentingnya
menyikat gigi, agar gigi tetap dalam kondisi baik hingga usia dewasa. Menggosok
gigi secara benar dan teratur, sedikitnya 4 kali sehari, dianjurkan setiap
selesai makan dan sebelum tidur. Menggosok gigi menggunakan sikat gigi sendiri.
Sikat gigi harus diganti setiap 3 bulan sekali (Potter & Perry, 2009).
Selain itu, yang penting diketahui adalah jenis makanan
yang dapat merusak gigi dan membiasakannya untuk mengonsumsi makanan yang lebih
sehat. Ajak anak untuk menghindari makan/minum yang terlalu panas/dingin dan
yang terlalu asam. Anak harus banyak mengonsumsi makanan bergizi. Orangtua
perlu juga membawa anak untuk memeriksakan kesehatan gigi dan mulut secara
rutin kurang lebih 6 bulan sekali ke puskesmas atau ke dokter gigi. Jika merasa
gigi nyilu/sakit segera berobat ke puskesmas atau dokter gigi (Murti, S, 2012).
4.5 Kebersihan Mata
Mata sering kali mencerminkan kesehatan seseorang. Mata
yang sehat akan tampak jernih dan bersih dari kotoran mata yang mengandung Lysonyme, yaitu suatu enzim yang
melindungi mata dari mikro organisme tertentu, kotoran mata dapat menempel pada
bulu mata (mengering dan menjadi keras) disudut mata. Cairan yang dapat dipakai
untuk membersihkan mata yaitu air bersih/saline (Potter & Perry,
2009).
Secara normal tidak ada perawatan khusus yang diperlukan
untuk mata karena secara terus menerus dibersihkan oleh air mata, dan kelopak
mata dan bulu mata mencegah masuknya partikel asing. Seseorang hanya memerlukan
untuk memindahkan sekresi kering yang berkumpul pada kantus sebelah dalam atau
bulu mata. Pembersihan mata biasanya dilakukan selama mandi dan melibatkan
pembersihan dengan waslap pembersih yang dilembabkan kedalam air. Bersihkan
daerah mata dari arah luar ke dalam (bersihkan kotoran mata yang menempel pada
sudut kelopak mata) (Potter & Perry, 2009).
4.6 Kebersihan Telinga dan
Hidung
Hygiene telinga mempunyai implikasi untuk ketajaman
pendengaran bila subtansi lilin atau benda asing berkumpul pada kanal telinga
luar, yang mengganggu konduksi suara. Hidung memberikan indera penciuman tetapi
juga memantau temperatur dan kelembapan udara yang dihirup serta mencegah
masuknya partikel asing ke dalam sistem pernafasan (Potter & Perry, 2009).
Bersihkan telinga
secara rutin (1x/1-2 mg) lakukan dengan hati-hati menggunakan alat yang bersih
dan aman. Daun telinga dibersihkan waktu mandi kemudian dikeringkan dengan
handuk atau kapas bersih (Hidayat, 2008). Tidak di perbolehkan menggunakan alat
yang tajam seperti peniti untuk membersihkan serumen yang ada pada telinga
(Murti, S., 2012).
Kecuali membersihkan telinga bagian luar, diperlukan juga
upaya untuk menjaga telinga bagian dalam dengan memakai pembersih telinga
khusus seperti kapas dan semacamnya. Membersihkan kotoran telinga dengan
mempergunakan peniti atau jepit rambut sangat berbahaya karena dapat menusuk
gendang telinga. Bersihkan hidung juga menggunakan kapas, sapu tangan atau
tisue yang bersih. Biasanya mengangkat sekresi hidung secara lembut dengan
membersihkan kedalam dengan tisu lembut. Hal ini menjadi hygiene harian yang
diperlukan (Potter & Perry, 2009). Jika terdapat keluhan dengan telinga
atau hidung segera periksa ke puskesmas/dokter (Murti, S., 2012).
Cara yang paling baik untuk membersihkan hidung adalah
dengan mendenguskan (meniupkan udara keluar lubang hidung) secara pelan-pelan.
Waktu mendenguskannya kedua lubang hidung harus terbuka. Biila salah satu
lubang hidung tertutup ada bahaya masuknya kotoran ke dalam pipa eustacmius telinga (Potter & Perry,
2009)
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam membersihkan hidung
adalah tidak boleh memasukan air ke dalam lubang hidung, hal ini dapat
mendorong kotoran benda lain ke dalam serambi jantung, supaya tidak
terisap-isap, mencegah terjadinya lika pada selaput. Hidung memberikan
temperatur dan kelembaban udara yang pernafasan dihirup serta mencegah masuknya
partikel asing ke dalam sistem kumulasi sekresi yang mengeras di dalam nares
merusak sensasi alfaktori dan pernafasan (Potter dan Perry, 2009).
4.7 Kebersihan Alat Kelamin
Kebersihan kulit kemaluan dan perineum hal yang harus
diperhatikan bagi kesehatan bila kebersihan diperhatikan dapat mengakibatkan
gangguan fisik maupun psikis bagi pasien karena dapat mengakibatkan bau yang
tidak sedap. Daerah sekitar kemaluan dan perineum
sering kali kurang kena cahaya, hangat dan lembab sehingga sangat baik untuk
berkembangnya bakteri terutama pada pasien yang di pasang kateter, mikro
organisme dari daerah yang dipasang kateter dapat menjalar ke kandung kemih
(Potter dan Perry, 2009).
5. Tinjauan Personal Hygiene dengan Kejadian Diare
Kebiasaan mencuci
tangan berpengaruh terhadap terjadinya diare pada balita. Hal ini disebabkan
karena balita sangat rentan terhadap mikroorganisme dan berbagai agen
infeksius, segala aktivitas balita dibantu oleh orang tua khususnya ibu,
sehingga cuci tangan sangat diperlukan oleh ibu sebelum dan sesudah kontak
dengan balita , yang bertujuan
untuk menurunkan risiko terjadinya diare pada balita. Mencuci tangan yang baik
dan benar dapat menurunkan angka kejadian diare sebesar 47% (Kemenkes R1 2013).
Buah dan sayur
dapat terkontaminasi oleh Salmonella typhi, karena buah dan sayur
kemungkinan dipupuk menggunakan kotoran manusia. Sebelum diolah bahan makanan
seperti daging, ikan, telur, sayur, dan buah, harus dicuci bersih. Lebih-lebih
pada makanan yang akan dikonsumsi langsung atau mentah. Bahan-bahan hewani
seringkali mengandung kuman patogen sedangkan buah dan sayur seringkali
mengandung pestisida atau pupuk. Oleh karena itu lakukan pencucian dengan air
bersih dan mengalir (James Chin. 2006).
E. Tinjauan
Tentang Sanitasi Lingkungan
Sanitasi merupakan salah satu komponen dari
kesehatan lingkungan, yaitu perilaku yang disengaja untuk membudayakan
hidup bersih untuk mencegah manusia bersentuhan langsung dengan kotoran dan
bahan buangan berbahaya lainnya, dengan harapan dapat menjaga dan meningkatkan
kesehatan manusia. Rendahnya mutu sanitasi lingkungan merupakan keadaan yang
potensial untuk menjadi sumber penularan penyakit diare.
1. Penggunaan Air Bersih
Air bersih adalah air yang
digunakan untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya memenuhi syarat
kesehatan dalam hal ini air memiliki kualitas yang sesuai dengan
syarat-syarat pada pertemuan Menteri Kesehatan RI. Nomor 416/Menkes/per/IX/90
(Slamet, 2008).
Pada dasarnya air yang murni
dalam arti sesuai benar dengan syarat kesehatan oleh karena itu harus
diusahakan air yang ada sedemikian rupa sehingga syarat yang dibutuhkan
tersebut terpenuhi. Di Indonesia telah ditetapkan standar kualitas air minum
menurut Permenkes RI, No.416/Menkes/PER/1990 dalam Slamet (2008), yakni:
1.1 Syarat fisik
Air yang sebaiknya untuk minum adalah air yang tidak
berwarna, tidak berasa, tidak berbau, jernih dengan suhu di bawah suhu udara
sehingga menimbulkan rasa nyaman.
1.2 Syarat kimiawi
Air tidak mengandung zat-zat yang berbahaya untuk
kesehatan seperti zat-zat beracun, dan tidak mengandung mineral-mineral serta
zat-zat organik lebih tinggi dari jumalah yang telah ditentukan.
1.3 Syarat bakteriologi
Air tidak boleh mengandung suatu bibit
penyakit-penyakit yang sering menular dengan perantara air adalah
penyakit-penyakit yang tergolong dalam golongan “water borne disease” antara
lain: cholera, diare, kulit, dan cacingan.
Air yang memenuhi syarat kesehatan mempunyai peranan penting
dalam upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Untuk dapat memenuhi
kebutuhan masyarakat akan air bersih maka kualitas dan kuantitasnya yang
berkesinambungan merupakan indikator telah tercapainya penyediaan air bersih
(Notoatmodjo, 2010).
Pencegahan penyakit diare dan penyakit lain yang
ditularkan melalui air hanya dapat dilakukan dengan penyediaan air bersih,
penggunaan jamban sehat, pembuangan limbah cair dan padat rumah tangga serta
peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat seperti mencuci tangan dengan sabun
setelah membuang air besar dan sebelum menjamah makanan serta menyimpan makanan
dalam keadaan tertutup (Notoatmodjo, 2010).
Penyakit diare merupakan salah satu penyakit berbasis
lingkungan. Dua penyebab diantaranya yang dominan yaitu sarana air bersih dan
pembuangan tinja. Kedua penyebab tersebut akan berinteraksi bersama dengan
perilaku manusia. Masyarakat yang terjangkau oleh penyediaan air yang
benar-benar bersih mempunyai resiko menderita diare lebih kecil dibandingkan
dengan masyarakat yang tidak mendapat air bersih. Masyarakat dapat mengurangi
resiko terjadinya diare dengan menggunakan air tersebut dari kontaminasi,
dimulai dari sumbernya sampai penyimpanan di rumah (Noer, 2009).
2. Penggunaan Jamban Keluarga
Jamban adalah sutu rungan yang mempunyai fasilitas
pembunagna kotoran manusia yang terdiri atas tempat jongkok atau tempat duduk
dengan leher angsa atau tanpa leher angsa (cemplung) yang dilengkapi dengan
unit penampungan kotoran dan air untuk membersihkannya (Simanjuntak, 2009).
Menurut Depkes RI, (2009), syarat jamban sehat yakni
tidak mencemari tanah di sekitarnya, mudah dibersihkan dan aman digunakan,
dilengkapi dinding dan atap pelindung, penerangan dan ventilasi cukup, lantai
kedap air dan luas ruangan memadai, tersedianya air dan alat pembersih, kotoran
manusia tidak di jamah oleh lalat, serta jamban tidak menimbulkan sarang
nyamuk.
Klasifikasi jamban menurut Depkes
RI (2009), sebagai berikut:
2.1 Jamban cemplung
Adalah jamban yang penampungnya berupa lubang yang
berfungsi menyimpan dan meresapkan cairan kotoran/tinja ke dalam tanah dan
mengendapkan kotoran ke dasar lubang. Untuk jamban cemplung di haruskan ada
penutup agar tidak berbau.
2.2 Jamban
tangki septic/leher angsa
Jamban berbentuk leher angsa yang
penampungnya berupa tangki septic kedap air yang berfungsi sebagai wadah proses
penguraian kotoran manusia yang dilengkapi dengan resapnya.
Pembuangan tinja yang memenuhi syarat kesehatan
bertujuan untuk mengisolasi tinja sedemikian rupa sehingga dapat mencegah
terjadinya penularan penyakit yang di sebabkan oleh tinja dari penderita kepada
orang sehat. Pembuangan tinja yang tidak memenuhi syarat kesehatan dapat
menimbulkan penyakit pada manusia seperti penyakit kolera, typhus, diare,
cacingan serta penyakit saluran pencernaan (Warsito, 2009).
Diare merupakan water bone disease selau ada di setiap
saat di Indonesia dan cenderung meningkat pada musim hujan. Penyebab utamanya
adalah kurangnnya kebersihan lingkungan dan kebersihan perorangan misalnya,
orang yang buang air besar di tempat terbuka seperti di kebun, sungai, padahal
seharusnya di jamban. Banyak orang tidak mempraktekkan kebiasaan cuci tangan
dengan sabun sebelum makan. Lalat membawa kuman
kotoran, kemudian hinggap di makanan yang tidak di tutup, orang yang memakan
makanan tersebut kemungkinan besar akan terkena diare (Noer, 2009).
3. Sampah
Sampah adalah sesuatu bahan atau
benda padat yang sudah tidak di pakai lagi oleh manusia, atau benda padat yang
sudah digunakan lagi
dalam satu kegiatan manusia dan di buang. Para ahli kesehatan masyarakat
Amerika membuat batasan, sampah (waste) adalah sesuatu yang tidak digunakan,
tidak dipakai, tidak disenangi, atau sesuatu yang dibuang yang beraasal dari
kegiatan manusia, dan tidak terjadi dengan sendirinya (Notoatmodjo, 2010).
Dari batasan ini jelas bahwa sampah adalah hasil suatu
kegiatan manusia yang dibuang karena sudah tidak berguna. Sehingga bukan semua
bukan semua benda padat yang tidak digunakan, dan dibuang disebut sampah,
misalnya: benda-benda alam, benda-benda yang keluar dari bumi akibat dari
gunung meletus, banjir, pohon di hutan yang tumbang akibat angin rebut, dan
sebagainya. Dengan demikian, sampah mengandung prinsip-prinsip sebagai berikut:
3.1 Adanya
sesuatu benda atau benda padat
3.2 Adanya hubungan
langsung/tidak langsung dengan kegiatan manusia.
3.4 Benda atau bahan tersebut tidak dipakai lagi
(Notoadmodjo, 2010).
Menurut Depkes (2009), bahwa menurut asalnya
sumber-sumber sampah antara lain: sampah yang berasal
dari pemukiman (domestic waste), sampah yang berasal dari tempat-tempat umum, sampah yang berasal
dari perkantoran, sampah yang berasal dari jalan
raya, sampah yang berasal dari industri (industrial wastes), sampah yang berasal
dari pertanian/perkebunan, sampah yang berasal
dari pertambangan, sampah yang berasal dari pertenakan dan perikanan.
Menurut Notoadmodjo (2010),
sampah dapat dibagi menjadi berbagai jenis, yakni:
3.1
Berdasarkan zat kimia yang
terkandung di dalamnya, sampah dibagi menjadi:
3.1.1
Sampah an-organik, adalah
sampah yang umumnya tidak dapat
membusuk, misalnya: logam/besi, pecahan gelas, plastik, dan sebagainya.
3.1.2
Sampah organik, adalah
sampah yang pada umumnya bisa membusuk, misalnya: sisa-sisa makanan,
daun-daunan, buah-buahan, dan sebagainya.
3.2 Berdasarkan dapat dan tidaknya di bakar
3.2.1
Sampah yang mudah terbakar,
misalnya: kertas, kayu, karet, plastik, kain bekas, dan sebagainya.
3.2.2
Sampah yang tidak dapat
terbakar, misalnya: kaleng bekas, besi/logam bekas, pecahan gelas dan kaca, dan
sebaginya.
3.3 Berdasarkan
karakteristik sampah
3.4.1 Garbage yaitu jenis
sampah hasil pengolahan atau pembuatan makanan, yang umumnya mudah membusuk,
dan berasal dari rumah tangga, restoran, hotel dan sebaginya.
3.4.2 Rabish, yaitu sampah
yang berasla dari perkantoran, misalnya: plastik, karton, dan sebagainya,
maupun yang tidak mudah terbakar, seperti kaleng bekas, klip, pecahan kaca, dan
sebagainya.
3.4.3 Ashes (abu), yaitu
sisa pembakaran dari bahan-bahan yang mudah terbakar, termaksud abu rokok.
3.4.4 Sampah jalanan
(street sweeping), yaitu sampah yang berasal dari pembersihan jalan, yang
terdiri dari caampuran dari berbagai macam sampah.
3.4.5 Sampah industri,
yaitu sampah-sampah yang berasal dari sampah-sampah industri atau pabrik.
3.4.6 Bangkai binatang
(dead animal), yaitu bangkai binatang yang mati karena alam, ditabrak
kendaraan, atau dibuang oleh orang.
3.4.7 Sampah pembangunan
(construction waste), yaitu sampah dari proses pembangunan gedung, rumah dan
sebagainya, yang berupa puing-puing, potongan-potongan kayu, besi, beton,
bambu, dan sebagainya.
Sampah erat kaitannya dengan kesehatan masyarakat,
karena di sampah tersebut akan hidup berbagai macam mikroorganisme penyebab
penyakit (bakteri pathogen), dan juga binatang serangga sebagai
pemindah/penyebar penyakit (vector). Oleh sebab itu, sampah harus dikelola dengan
baik sampai sekecil mungkin sampai tidak mengganggu atau mengancam kesehatan
masyarakat. Yang dimaksud dengan pengolahan sampah sedemikian rupa adalah meliputi: pengumpulan, pengangkutan,
sampai dengan pemusnahan atau pengolahan sampah sedemikian rupa sehingga sampai
tidak menjadi gangguan kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup (Kusnoputranto, 2008).
Cara pengolahan sampah menurut Notoadmodjo (2010),
antara lain sebagai berikut:
3.1 Pengumpulan dan pengangkutan sampah
Pengumpulan sampah masing-masing menjadi tanggung
jawab dari masing-masing rumah tangga atau industri yang menghasilkan
sampah. Oleh sebab itu, mereka ini harus
membangun atau mengadakan tempat khusus untuk mengumpulkan sampah. Kemudian
dari masing-masing tempat pengumpulan sampah tersebut harus di angkut ke tempat
penampungan sementara (TPS) sampah, dan selanjutnya ke tempat penampungan
akhir.
3.2 Pemusnahan
pengolahan sampah
Menurut Notoatmodjo (2010), pengolahan dan pengolahan
sampah padat ini dapat dilakukan melalui berbagai cara antara lain:
3.2.1 Ditanam (landfill),
yaitu pemusnahan sampah dengan membuat lubang di tanah kemudian sampah
dimasukkan dan ditimbun dengan tanah.
3.2.2 Dibakar
(inseneration), yaitu memusnahkan sampah dengan jalan membakar di dalam tungku
pembakaran (inseractor).
3.2.3 Dijadikan pupuk
(composting), yaitu pengolahan sampah menjadi pupuk (compos), khususnya untuk
sampah organik, daun-daunan, sisa makanan, dan sampah lain yang mudah membusuk.
Menurut Depkes RI (2009),
menyebutkan bahwa, sebagai gangguan yang dapat ditimbulkan oleh sampah sebagai
akibat tidak terkelolanya sampah dengan baik, antara lain tempat berkembang
biaknya sarang dari serangga terutama lalat dan tikus, dapat menjadikan sumber
pengotor tanah, sumber air permukaan, air tanah maupun mencemari udara, menjadi
tempat hidup sumber kuman-kuman penyakit yang membahayakan kesehatan
masyarakat, mengganggu keindahan lingkungan hidup, dan dapat menurunkan
produktivitas kerja.
4. Hubungan Sanitasi
Lingkungan dengan Diare
Kebersihan lingkungan adalah suatu usaha kesehatan masyarakat yang
mempelajari pengaruh kondisi lingkungan terhadap kesehatan manusia, upaya
mencegah timbulnya penyakit karena pengaruh lingkungan
kesehatan serta membuat kondisi lingkungan sedemikian rupa, sehingga terjamin
pemeliharaan kesehatan. Termasuk upaya melindungi, memelihara, dan mempertinggi
derajat kesehatan manusia (perorangan ataupun masyarakat), sedemikian rupa
sehingga berbagai faktor lingkungan yang menguntungkan tersebut tidak sampai
menimbulkan gangguan kesehatan (Azwar,
2005).
Sanitasi lingkungan memiliki peran yang cukup
dominan dalam penyediaan lingkungan yang mendukung kesehatan anak dan tumbuh
berkembang. Lingkungan atau sanitasi tersebut meliputi rumah sehat, penggunaan
sarana air bersih, penggunaan jamban keluarga, pembuangan air limbah dan
pembuangan sampah. Sanitasi lingkungan yang buruk dapat meningkatkan
jumlah vektor penyebab diare, sehingga angka kejadian diare dapat meningkat.
F. Kerangka
Penelitian
Pada penelitian ini yang menjadi variabel independen
(variabel bebas) yaitu pengetahuan, personal hygiene dan sanitasi lingkungan.
Sedangkan variabel dependen (variabel terikat) yaitu kejadian diare pada
Balita.
Variabel
Independen
|
|
Keterangan :
: Garis penghubung variabel yang
diteliti
:
Variabel independen yang diteliti
:
Variabel independen yang tidak diteliti
:
Variabel dependen yang diteliti
Gambar
2.1 Kerangka Pikir Penelitian
G. Hipotesis Penelitian
1.
Ho : Tidak ada hubungan pengetahuan dengan kejadian
diare pada Balita
di wilayah kerja
Puskesmas Jati Raya Kota Kendari Tahun 2015
Ha : Ada hubungan pengetahuan
dengan kejadian diare pada Balita di
wilayah kerja Puskesmas
Jati Raya Kota Kendari Tahun 2015.
2.
Ho : Tidak ada hubungan personal hygiene dengan
kejadian diare pada
Balita di wilayah kerja
Puskesmas Jati Raya Kota Kendari Tahun 2015
Ha : Ada hubungan
personal hygiene dengan kejadian diare pada Balita di
wilayah kerja Puskesmas
Jati Raya Kota Kendari Tahun 2015.
3.
Ho : Tidak ada hubungan sanitasi lingkungan dengan
kejadian diare pada
Balita di wilayah kerja
Puskesmas Jati Raya Kota Kendari Tahun 2015
Ha : Ada hubungan
sanitasi lingkungan dengan kejadian diare pada Balita
di wilayah kerja
Puskesmas Jati Raya Kota Kendari Tahun 2015.
.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis
penelitian yang digunakan adalah survei analitik dengan pendekatan obsevasional dan menggunakan rancangan
Cross Sectional Study yaitu antara variabel bebas dan variabel terkait diamati
secara bersamaan (Riyanto, 2011).
B. Waktu dan Tempat Penelitian
1. Waktu
Penelitian ini telah dilaksanakan dari tanggal 19 Mesi s/d tanggal 19 Juni 2015 dilaksanakan setelah disetujui dan
diseminarkan pada seminar proposal.
2. Tempat
Penelitian ini dilaksanakan wilayah kerja Puskesmas Jati
Raya Kota Kendari Tahun 2015.
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu-ibu yang
memiliki Balita yang berkunjung di Puskesmas Jati Raya pada saat penelitian
2. Sampel
Sampel adalah sebagian yang diambil dari objek yang
diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Sugiyono, 2010). Sampel dalam
penelitian ini adalah sebagian ibu-ibu yang memiliki anak Balita yang
berkunjungan di Puskesmas Jati Raya. Besar sampel yang akan digunakan dalam
penelitian ini dihitung dengan menggunakan rumus:
Keterangan:
n =
jumlah sampel
N =
jumlah populasi
p =
estimator proporsi populasi (0.05)
q =
1,0 – p
Z2 =
1.96
d = 0.05 (Sanjaka,
2011).
Sehingga didapatkan:
≈ 64 responden
Jadi total sampel yang digunakan dalam
penelitian ini adalah sebanyak 64 orang responden.
3. Teknik Sampling
Teknik penarikan sampel dalam penelitian ini adalah menggunakan
Metode Accidental sampling yaitu tehnik pengambilan
sampling yang ada pada saat dilakukan penelitian (Sugiyono,
2005). Dimana sampel pada penelitian dipilih adalah sebagian ibu-ibu yang
memiliki anak Balita. Jika penderita telah dijadikan sample, maka pada
kunjungan berikutnya tidak dijadikan lagi sebagai sampel pada penelitian ini.
D. Kriteria
Inklusi dan Eksklusi
1. Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subjek
penelitian dari suatu populasi target yang terjangkau dan akan diteliti
(Nursalam, 2008). Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.1 Ibu yang mempunyai anak Balita yang pernah datang
berkunjung di Puskesmas Jati Raya yang positif terdiagnosa diare
1.2 Ibu yang dapat
berkomunikasi dengan baik
1.3 Ibu yang bersedia
mendatangani lembar persetujuan
2. Kriteria Eksklusi
Kriteria eksklusi adalah menghilangkan atau mengeluarkan
subyek yang memenuhi kriteria inklusi karena berbagai sebab sehingga tidak
dapat menjadi responden penelitian (Nursalam, 2008). Kriteria eksklusi dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
2.1 Ibu yang mempunyai anak Balita menderita penyakit
lain
2.2 Ibu yang tidak bersedia mendatangani lembar
persetujuan
E. Variabel dan Defenisi Operasional
1. Variabel
Penelitian
Pada penelitian ini, variabel yang diteliti terdiri dari:
1.1
Variabel bebas (independen): pengetahuan,
personal hygiene dan sanitasi lingkungan.
1.2 Variabel terikat
(dependen): kejadian penyakit diare pada Balita.
2. Defenisi Operasional
2.1 Kejadian diare pada
Balita adalah ibu yang memiliki Balita yang didiagnosa menderita penyakit diare
oleh dokter.
Kriteria objektif:
Menderita
: Jika berdasarkan catatan atau rekam
medik didiagnosa menderita penyakit
diare oleh dokter.
Tidak menderita :
Jika berdasarkan catatan atau rekam medik tidak
didiagnosa penyakit diare oleh dokter.
2.2 Pengetahuan adalah
segala sesuatu yang diketahui responden, baik itu mengenai pengertian,
penyebab, cara penularan, diagnostik, pengobatan dan pencegahan penyakit diare.
Pengukuran dilakukan dengan kuisioner yang menanyakan tentang isi materi yang
ingin diukur.
Kriteria/cara
pengukuran dalam penelitian ini dengan menggunakan skala Guttman (Sugiyono,
2010). Pertanyaan pengetahuan berjumlah 10 butir soal, jika menjawab “benar” diberi skor 1 (satu)
dan jika “salah” diberi skor 0 (nol). Penilaian dari variabel tersebut merujuk pada skala
Guttman. Untuk mendapatkan persentase jawaban menggunakan rumus:
Skor tertinggi = 1 x 10 = 10 (100%)
Skor terendah = 0 x 10 = 0
(0%)
I =
Interval Kelas
R = Range/kisaran (100-0 = 100)
K = Jumlah kategori (2)
Interval Kelas : 100 / 2
= 50
Kriteria objektif:
Cukup : Jika jawaban responden > 50%
Kurang : Jika jawaban responden < 50%
2.3 Personal hygiene adalah
tindakan kebersihan perorangan yang meliputi mencuci tangan setelah buang air
besar dan membersihkan tinja, mencuci tangan sebelum menyuapi dan mencuci
tangan menggunakan sabun yang dilakukan ibu sehari-hari.
Kriteria/cara pengukuran dalam penelitian ini dengan
menggunakan skala Guttman (Sugiyono, 2010). Pertanyaan personal hygiene
berjumlah 10 butir soal, jika menjawab “ya” diberi skor 1 (satu) dan jika
“tidak” diberi skor 0 (nol). Penilaian dari variabel tersebut merujuk pada skala
Guttman. Untuk mendapatkan persentase jawaban menggunakan rumus:
Skor tertinggi = 1 x 10 = 10 (100%)
Skor terendah = 0 x 10 = 0
(0%)
I =
Interval Kelas
R = Range/kisaran (100-0 = 100)
K = Jumlah kategori (2)
Interval Kelas : 100 / 2
= 50
Kriteria objektif:
Cukup : Jika jawaban responden > 50%
Kurang : Jika jawaban responden < 50%
2.4 Sanitasi lingkungan
adalah suatu keadaan atau kesehatan lingkungan yang meliputi penggunaan sumber
air bersih, penggunaan jamban, pengolahan sampah dan pengolahan air limbah yang
dilakukan dalam rumah tangga.
Kriteria/cara pengukuran dalam penelitian ini dengan
menggunakan skala Guttman (Sugiyono, 2010). Pertanyaan sanitasi lingkungan
berjumlah 10 butir soal, jika menjawab “ya” diberi skor 1 (satu) dan jika
“tidak” diberi skor 0 (nol). Penilaian dari variabel tersebut merujuk pada skala
Guttman. Untuk mendapatkan persentase jawaban menggunakan rumus:
Skor tertinggi = 1 x 10 = 10 (100%)
Skor terendah = 0 x 10 = 0
(0%)
I =
Interval Kelas
R = Range/kisaran (100-0 = 100)
K = Jumlah kategori (2)
Interval Kelas : 100 / 2
= 50
Kriteria objektif:
Cukup : Jika jawaban responden > 50%
Kurang : Jika jawaban responden < 50%
F. Jenis dan Cara Pengumpulan Data
1. Jenis data
Jenis data dalam penelitian ini adalah data primer dan
data sekunder. Data primer yaitu mengenai pengetahuan, personal hygiene,
sanitasi lingkungan dan kejadian diare pada Balita. Sedangkan data sekunder
mengenai gambaran umum lokasi penelitian dan lain-lain (Purwanto, 2008).
2.
Cara pengumpulan data
Pengumpulan data
dilakukan dengan menggunakan kuesioner untuk mendapatkan data tentang
dimensi-dimensi dari konstruk-konstruk yang dikembangkan dalam penelitian ini.
Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi
seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawab.
Kuesioner ini diberikan kepada responden secara langsung (Purwanto, 2008).
G. Pengolahan dan Analisis Data
1.
Pengolahan data
Pengolahan data pada dasarnya merupakan suatu proses
untuk memperoleh data atau data ringkasan berdasarkan suatu kelompok data
mentah dengan menggunakan rumus tertentu sehingga menghasilkan informasi yang
diperlukan. Pengolahan data dilakukan dengan cara:
1.1 Pengeditan (editing)
Editing dimaksudkan untuk meneliti tiap daftar pertanyaan
yang diisi agar lengkap untuk mengoreksi data yang meliputi kelengkapan
pengisian atau jawaban yang tidak jelas, sehingga jika terjadi kesalahan atau
kekurangan data dapat dengan mudah terlihat dan segera dilakukan perbaikan.
Proses editing dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mengecek kelengkapan
kuesioner yang telah diisi oleh responden untuk memastikan bahwa seluruh
pertanyaan dalam kuesioner telah diisi sesuai dengan petunjuk sebelum
menyerahkan kuesioner.
1.2 Pengkodean (coding)
Setelah data terkumpul dan selesai diedit, tahap
berikutnya adalah mengkode data, yaitu melakukan pemberian kode untuk setiap
pertanyaan dan jawaban dari responden untuk memudahkan dalam pengolahan data.
Pengkodean yang dilakukan oleh peneliti dalam penelitian ini yaitu dengan memberi
nomor yang mewakili dan berurutan pada tiap kuesioner sebagai kode yang
mewakili identitas responden dan memberikan kode pada setiap jawaban responden.
1.3 Pemberian skor (scoring)
Skoring adalah memberikan penilaian terhadap item-item
yang perlu diberi penilaian atau skor.
1.4 Tabulasi (tabulating)
Tabulating dilakukan dengan memasukkan data ke dalam
tabel yang tersedia kemudian melakukan pengukuran masing-masing variabel (Purwanto, 2008).
2. Analisis data
2.1
Analisis Univariat
Analisis univariat digunakan untuk mengetahui distribusi
dan persentase dari tiap variabel bebas (pengetahuan, personal hygiene dan sanitasi lingkungan) dengan variabel
terikat (kejadian diare pada balita) (Sugiyono, 2010). Analisa data dilakukan secara manual dengan
menggunakan kalkulator, kemudian hasilnya disajikan dalam bentuk tabel
frekuensi disertai penjelasan-penjelasan. Sedangkan dalam pengolahan data
digunakan rumus:
keterangan:
f :
frekuensi yang sedang dicari persentasenya
N : number of
cases (jumlah frekuensi atau banyaknya individu)
P : angka persentase (Sugiyono, 2010).
2.2 Analisis Bivariat
Analisa bivariat dilakukan untuk melihat hubungan
variabel independen dengan variabel dependen dalam bentuk tabulasi silang
antara kedua variabel tersebut dengan menggunakan uji statistic Chi_Square.
Keterangan:
k : banyak kategori/sel 1,2... k
0i : frekuensi observasi
untuk kategori ke-i
: frekuensi ekspektasi untuk kategori ke-i
Pengambilan kesimpulan
dari pengujian hipotesis adalah sebagai baik berikut:
2.2.1 Apabila nilai χ2
hitung > X2 atau
p < a, maka Ho ditolak dan Ha diterima, artinya ada hubungan antara variabel
independen dengan variabel dependen.
2.2.2 Apabila X² hitung <
X², atau P > a, maka Ho diterima dan Ha ditolak, artinya tidak ada hubungan
antara variabel independen dengan variabel dependen
H. Penyajian Data
Data dalam penelitian ini disajikan dalam bentuk
tabel distribusi frekuensi berdasarkan variabel yang diteliti disertai dengan
narasi secukupnya (STIK Avicenna, 2008).
I. Etika
Penelitian
Dalam melakukan penelitian, peneliti memandang
perlu adanya rekomendasi pihak institusi atas pihak lain dengan mengajukan
permohonan izin kepada instansi tempat penelitian dalam hal ini pihak Puskesmas
Jati Raya. Setelah mendapat persetujuan, barulah dilakukan penelitian dengan
menekankan masalah etika penelitian yang meliputi:
1. Informed concent
Lembar persetujuan diberikan kepada responden yang akan
diteliti dan disertai judul penelitian dan manfaat penelitian, bila subyek
menolak maka peneliti tidak akan memaksakan kehendak dan tetap menghormati
hak-hak subyek.
2. Anonimity
Untuk menjaga kerahasiaan, peneliti tidak akan
mencantumkan nama responden pada kuesioner, tetapi pada kuesioner tersebut
diberikan kode responden.
3. Confidentiality
Kerahasiaan informasi responden dijamin oleh peneliti dan
hanya kelompok data tertentu saja yang dilaporkan sebagai hasil penelitia.
4. Beneficence
Peneliti melindungi subjek agar terhindar dari bahaya dan
ketidaknyamanan fisik.
5. Full disclosure
Peneliti memberikan hak kepada responden untuk membuat
keputusan secara sukarela tentang partisipasinya dalam penelitian ini dan
keputusan tersebut tidak dapat dibuat tanpa memberikan penjelasan
selengkap-lengkapnya (Nursalam, 2008).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar